Pak Jokowi, Bagaimana Nasib Proyek Blok Masela & IDD? Ada Apa.
Jakarta,( INDENPERS-MEDIA )----Investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas) Tanah Air beberapa waktu belakangan diwarnai sejumlah isu besar. Raksasa migas asal Belanda, Royal Dutch Shell Plc (Shell), dikabarkan bakal cabut dari pengelolaan Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku.
Kemudian, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) hingga kini belum memberikan kepastian untuk proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) alias ultra laut dalam. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan, secara umum memang sudah lama investasi hulu migas di Indonesia kurang menarik. Bisa jadi masih ekonomis, namun kemungkinan masih kurang bisa kompetitif di skala portofolio investasi global.
"Para international oil company (IOC) seperti Shell, Chevron, tentu men-disburse investasi mereka berdasarkan ranking portofolio investasi mereka secara global," ujar Pri Agung , baru-baru ini.
Lebih lanjut, dia mengatakan, para investor akan menarik diri dari project-project di Indonesia karena tidak masuk ke dalam standar keekonomian mereka.
"Atau secara portofolio project-project hulu migas kita kalah kompetitif, atau kalah dalam keekonomiannya dengan project-project mereka yang berada di negara lain. Ya tentu mereka pada akhirnya akan menarik diri dari project-projectnya di Indonesia tersebut," kata Pri Agung.
Eks Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode 2014-2019 Arcandra Tahar mengingatkan investasi hulu migas tidak mengenal kewarganegaraan. Artinya, di mana ada investasi yang menguntungkan, investor akan masuk.
"Coba lihat data. Apakah Exxon keluar dari negara lain di Eropa atau Shell atau perusahaan-perusahaan besar lain. Mereka banyak fokus di mana? shale oil. Kenapa? Dari harga minyak yang normal, maka margin di shale oil itu dibandingkan dengan margin bisnis dan tingkat kesulitan dan lain-lain akhirnya mereka memutuskan untuk fokus ke shale oil," kata Arcandra dalam sebuah diskusi secara virtual belum kama ini.
Ia pun menyebut jika perusahaan-perusahaan besar itu akan menjual aset-aset di luar negeri. Itu artinya, jika dilihat secara komprehensif, perusahaan migas melihat parameter mana yang lebih memungkinkan bagi bisnis mereka.
"Mana yang secara strategis bisnis mereka inline dengan tujuan korporasi mereka 5-10 tahun ke depan," kata Arcandra.
Kuncinya selain mengembangkan bisnis hulu dan hilir, lanjut, mereka melakukan efisiensi. Karena tidak ada yang mampu mengontrol harga.
"Artinya itu berimbas ke oil company ini. Karena efisiensi ini menjadi sesuatu yang bisa dikontrol perusahaan," ujar Arcandra.
Seperti diketahui, Shell melalui Shell Upstream Overseas memiliki saham partisipasi Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku, sebesar 35%. Sedangkan sisanya dimiliki oleh Inpex via Inpex Masela sebanyak 65%. Dari blok itu ditargetkan produksi LNG 9,5 juta ton. Nilai investasi pengembangan Blok Masela akan mencapai sekitar US$ 20 miliar (Rp 288 triliun).
SKK Migas memproyeksikan Blok Masela untuk onstream pada tahun 2027 mendatang. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengharapkan satu tahun lebih lekas.
( RZ/WK )***
No comments:
Post a Comment