Jakarta, ( INDENPERS-MEDIA )-------Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) buka suara mengenai perbedaan situasi krisis pada tahun 2008 lalu dan krisis dunia pada 2020 ini. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara keduanya.
Yakni pada tahun 2008 silam murni krisis ekonomi yang tidak dialami oleh sebagian besar negara. Sedangkan saat ini, krisis ekonomi sekaligus pandemi Covid 19.
"2008 pertumbuhan kita 6% karena ada krisis global. 2009 drop jadi 4,6%. 2010 naik lagi bahkan 6,2%. Kita punya bentuk V sehingga kita terbebas dari resesi itu. sekarang secara global ada resesi. Hampir semua negara alami resesi," kata Chairman the Yuhoyono Institute, baru-baru ini.
Namun, bukan berarti tidak ada persamaan. Kala itu, pemerintah juga dihadapkan dengan berbagai situasi yang berat, diantaranya adalah naiknya harga minyak dunia dan berbagai bencana di dalam negeri.
"2008 dulu jangan kira sebelum ada krisis kita ngga ada tekanan, punya. Harga minyak meroket 2005, sehingga kita menaikkan 140% harga BBM (Bahan Bakar Minyak). 2008 meroket lagi, bahkan puncaknya bisa mencapai 150 dolar/barel. Itu juga tekanan yang berat. Belum (lagi) ada bencana alam, banyak sekali tsunami, gempa Jogja, gempa Padang dan banyak sekali, juga flu burung," jelasnya.
Meski mendapat tekanan bertubi-tubi, nyatanya pemerintah saat itu bisa tetap bisa mengembalikan pinjaman utang kepada International Monetary Fund (IMF) sebesar Rp. 117 triliun. SBY pun menceritakan pengalamannya tersebut.
"Saya harus sedikit berhati-hati untuk menjelaskan ini, karena banyak yang sensitif, mungkin kurang nyaman, kalau saya menyampaikan pandangan apa yang kita lakukan dulu," katanya.
"Karena itu saya mau bicara secara faktual agar segala sesuatu jadi terang dan mudah. 2008 saya anggap disrupsion atau diskontinuitas dari apa yang kita lakukan untuk membangun ekonomi kita. Saat awal memimpin Indonesia, saya mengindentifikasi masalah-masalah utama yang berkaitan ekonomi kita, ternyata saya ketemu 5."
"Pertama, GDP memang relatif rendah 4%, saya ngga salahkan siap-siapa karena kita baru keluar dari krisis. Income per kapita juga rendah 1.100 US dolar. Lantas utang kita masih lumayan besar termasuk kepada IMF, pengangguran masih 11%, kemiskinan juga tinggi 17%."
Sedangkan saat ini, kondisi juga sedang krisis. Di mana utang kembali menggunung, baik pemerintah maupun BUMN.
Di tengah kondisi itu, daya beli masyarakat menjadi PR yang harus diperhatikan. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada sektor konsumsi.
"Ekonomi kita khas jangan disamakan dengan ekonomi Malaysia, Tiongkok, Singapura yang kebanyakan exsport oriented economy," ujar SBY.
Kita bersandar pada konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah juga, kemudian investasi. Karena itu, saya fokus pada 2008 melanjutkan ekonomi rumah tangga, konsumsi pemerintah, juga investasi karena ekspor kita belum sangat besar dibanding negara-negara yang lain." ( RZ/WK )***
No comments:
Post a Comment