Monday, 31 August 2015
Di Balik Pembatasan Iklan Pilkada.
Para pasangan calon, partai pengusung, dan tim suksesnya, Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) di semua tingkatkan menjadi pihak yang paling sibuk dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ) serentak pada tahun ini. Dibandingkan pilkada periode sebelumnya, kesibukan KPU sekarang bisa dipastikan tambah padat.
Tidak hanya pembuatan dan pemasangan APK ( Alat Peraga Kampanye ) yang dibatasi. Setelah pasangan calon ditetapkan, pemasangan iklan di media massa juga menjadi kewenangan KPU. Ada batasan jelas tentang frekuensi pemasangan dan di media massa mana iklan tersebut harus dipasang.
Salah satu penyebabnya, pada pilkada pada tahun ini, lembaga pelaksana pilkada itu punya lebih banyak peran dan kewenangan dalam proses sosialisaso pasangan calon. Pembuatan dan pemasangan alat peraga kampanye ukuran besar seperti baliho dan spanduk, sekarang mutlak kewenangan KPU. Pasangan calon hanya boleh menempelkan APK kecil saja di barang seperti pin, mug, bolpoin, dan beberapa jenis barang kecil lainnya.
Selain sejumlah alasan lain, KPU menyatakan, aturan tersebut di atas diberlakukan agar pasangan calon lebih banyak melakukan kampanye yang menurut mereka produktif. Yakni, mendatangi langsung konstituen dan menyampaikan visi, misi, serta rencana program mereka langsung dihadapan pemilih. Pembatasan pemasangan APK dan iklan di media massa juga diklaim bakal mengurangi pengeluaran masing-masing calon serta membuat pertarungan pilkada lebih adil.
Kemungkinan terjadi " permainan " dalam hal ini sangat besar. Sekarang, pasangan calon memang tidak bisa pasang iklan seenaknya di media. Tetapi, bisa saja pasangan calon tertentu punya hubungan baik dengan media tertentu, dan mereka punya hubungan baik dengan KPU. Melalui hitung-hitungan sistematis berlandaskan sikap mental tahu sama tahu, akhirnya diputuskan iklan media massa hanya dipasang di media-media yang menguntungkan pasangan calon tersebut.
Untuk mengeliminasi hal itu, KPU harus melakukan kerja sama dengan sebanyak-banyaknya media massa, tentu saja yang terbukti eksis dan melakukan operasional perusahaan sesuai aturan. Sehingga sosialisasi yang mereka sampaikan efektif karena bisa terserap ke sebanyak-banyaknya orang.
Kemungkinan terjadi " permainan " dalam hal ini sangat besar. Sekarang, pasangan calon memang tidak bisa pasang iklan seenaknya di media. Tetapi, bisa saja pasangan calon tertentu punya hubungan baik dengan media tertentu, dan mereka punya hubungan baik dengan KPU. Melalui hitung-hitungan sistematis berlandaskan sikap mental tahu sama tahu, akhirnya diputuskan iklan media massa hanya dipasang dimedia-media yang menguntungkan pasangan calon tersebut.
Menggunakan hanya satu atau dua media massa selama rentan waktu pemasangan iklan yang ditentukan selama 14 hari, bisa saja membuat sosialisasi kurang efektif. Apalagi jika media massa tersebut berbasis langganan dan segmen pembacanya terbatas. Sehingga saat dipasang, yang mengetahui iklan tersebut hanya orang-orang itu saja. Sementara, ada sejumlah media massa lain yang punya basis pembaca berbeda dibiarkan menganggur, sehingga pembacanya sama sekali tidak tahu ada iklan tersebut.
Mungkin ada yang berkilah, penentuan media yang akan dipasang iklan dilaksanakan dengan mekanisme lelang. Alasan semacam itu tidak perlu digembor-gemborkan, toh sudah banyak yang tahu, sebagian besar proses lelang dibumbui dengan permainan untuk menentukan pemenangnya. Sangat mudah menyusun penentuan standar yang digunakan dalam lelang agar hanya sesuai dengan media massa A atau B.
Semua maklum, semua yang berada di lingkungan pilkada berbau persaingan, termasuk soal iklan. Semua media pasti akan mengaku medianya lah yang paling pantas dipasang iklan. Kadang, pertimbangan persaingan semacam itu bukan soal uang, tetapi juga soal prestise. Maka jangan heran jika ada media yang berani menurun harga iklan agar tetap mendapat iklan tersebut hanya untuk jaga gengsi saja.
Dalam lingkaran tersebut, niat baik, sikap adil, dan kebijaksanaan KPU bakal menjadi penentu. Pilkada adalah pesta semua rakyat di satu daerah. Mereka berhak mendapatkan sosialisasi yang proporsional dari penyelenggara pilkada. Maka, memasang iklan di semua media massa yang hidup di satu daerah sesuai aturan tentang operasional media massa, menjadi pilihan terbaik agar KPU tidak dicurigai oleh kelompok tertentu atau sebagian besar warga.****
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment