Jakarta. ( INDENPERS- MEDIA )------Sri Mulyani Indrawati blak-blakan mengenai pengalamannya menjabat sebagai Menteri Keuangan di dua pemerintahan, yakni era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Dia mengaku ada periode-periode tertentu yang membuat ekonomi Indonesia tertekan, bahkan mengarah ke krisis.
"Pada saat kita sibuk menjalankan institusi dan menjalankan undang-undang, jangan lupa at the end fiscal policy is about economic policy. Dan ekonomi itu enggak jalan linier dan mulus. Seperti yang terjadi hari ini," kata Sri Mulyani dalam peluncuran buku berjudul Terobosan Baru Atas Perlambatan Ekonomi, baru-baru ini.
Sri Mulyani menjabat Menkeu era SBY pada 7 Desember 2005-20 Mei 2010, dan Menteri Keuangan era Jokowi sejak 27 Juli 2016 hingga saat ini.
Dalam periode 2004-2009 misalnya, dia menyebut bahwa harga minyak dunia melonjak drastis dari yang tadinya US$ 30 per barel jadi US$ 100 per barel. Alhasil, subsidi minyak yang tadinya dipatok Rp 90 triliun bengkak jadi Rp 350 triliun setahun.
"APBN kita goyang, bagaimana kita mengolahnya dan mengelolanya. Kalau kita harus membuat reform di bidang subsidi berarti masyarakat harus menanggung harga BBM yang lebih tinggi," imbuhnya.
Namun di sisi lain, dia menegaskan bahwa pemerintah saat itu berupaya agar angka kemiskinan tak naik. Karenanya, pilihan-pilihan tersebut menurutnya jadi kesulitan yang luar biasa dalam menentukan kebijakan fiskal.
"Lalu jangan lupa kita terkena tsunami Aceh [26 Desember 2004] waktu itu, dan berbagai episode waktu itu 2008 terjadinya global financial crisis. Bagian itulah bagaimana fiskal bisa tegar tetap menjadi apa yang disebut tempat atau policy untuk negara melakukan adjusment [penyesuaian] pada saat shock itu terjadi, baik dari dalam, dari luar, maupun dari natural disaster seperti tsunami. Itu peran fiskal menjadi luar biasa," katanya.
Kini, di era Jokowi, Sri Mulyani dihadapkan dengan tantangan berbeda. Dia menjelaskan bahwa pemerintah tengah sibuk-sibuknya menggencarkan industrialisasi 4.0.
"Waktu saya kembali semua orang excited untuk berbicara tentang ekonomi digital, digitalisasi, transformasi terhadap artificial intelligent. Kita sedang sibuk untuk membangun pilar-pilar SDM-nya harus diperbaiki, lingkungan investasi harus dipermudah, kebijakan perdagangan harus kompetitif, produktivitas harus naik, infrastruktur harus dikejar," urainya.
Namun lagi-lagi semua kesibukan tersebut dikejutkan dengan munculnya pandemi Covid-19. Praktis, kebijakan fiskal juga mau tak mau mengalami perubahan.
"Lagi kita sibuk begitu kita tiba-tiba kena shock Covid-19 ini. Ini juga merubah dan mereset semuanya," keluhnya.
Apalagi, situasi pandemi seperti saat ini menurutnya belum ada contohnya di masa sebelumnya. Pun demikian mengenai skema penentuan kebijakan fiskal yang terbaik.
"Even dengan pengalaman yang banyak pun kita akan dihadapkan dengan tantangan-tantangan yang kadang-kadang tidak pernah ada presedennya," tegas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
"Covid bisa dikatakan extraordinary dan unprecedented [belum pernah terjadi sebelumnya]. Karena presedennya adalah 100 tahun yang lalu. Dan saya enggak tahu kebijakan fiskal 100 tahun yang lalu.
( RZ/WK )***
No comments:
Post a Comment