INDENPRES MEDIA ISTANA

Sunday, 10 November 2013

VONIS TERHADAP BRIPTU PRIYA KASUS PENEMBAKAN HANYA SANDIWARA.

Semarang; Anggauta Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas ), Hamidah Abdurrachman menyatakan bahwa proses persidangan, pembacaan tuntutan, dan vonis terhadap Briptu Priya hanya sandiwara. Menurut Hamidah kalau melihat bagaimana tuntutan terhadap Briptu Priya hanya 1,5 tahun dan vonisnya hanya 1 tahun, ini adalah sandiwara. Ini jauh dari rasa keadilan. Hamidah mengharapkan jaksa mengajukan banding. Hamidah juga menyatakan, anggauta polisi sebagai aparat negara tidak boleh mabuk, terlebih ketika membawa senjata api. Jadi mabuk itu semestinya jadi alasan yang memberatkan hukuman, bukan sebaliknya. Kecurigaan Hamidah dan menduga BAP ( Berita Acara Perkara ) juga dibuat dengan setengah hati. Ingat, pembunuhan ini terjadi saat Briptu Priya sedang tidak menghadapi ancaman apapun dan korbannya justru sedang tidur. Hamidah mengungkapkan bahwa keputusan hakim adalah sekedar formalitas dari sebuah konsekuensi hukum. Hasil vonis 1 tahun bukan merupakan keadilan. Hamidah menyoroti kondisi Briptu Priya yang mabuk minuman keras melakukan pembunuhan. Pengadilan Negeri Semarang hanya menjatuhkan hukuman setahun penjara terhadap Anggauta Polrestabes Semarang Briptu Priya Yustianto dalam kasus penembakan yang menewaskan Nuki Nugroho, petugas keamanan sebuah perusahan jasa pengisian ATM di Semarang. Menurut hakim, terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 359 KHUP tentang kelalaian yang menyababkan hilangnya nyawa seseorang. Hukuman yang dibacakan hakim ketua Togar SH dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, belum lama ini, lebih ringan dari tuntutan jaksa selama 1,5 tahun. Diketahui peristiwa penembakan itu terjadi 15 Juni lalu, korban tertembak saat berada di dalam ruang istirahat kantorny, PT TAG pukul 2.30 WIB oleh Priya saat sedang bercanda. Nuki meninggal sekitar pukul 4.30 WIB di RS Kariadi Semarang karena peluru menembus dari belakang kepala hingga depan kepala sebelah kiri. Ayah almarhum Nuki Nugroho, Muryanto ( 62 ), menyatakan polisi mabuk bunuh rakyat hanya dihukum 1 tahun, kalau rakyat bunuh polisi bisa dihukum 10 tahun. Ini keadilan yang tidak benar, entah dari pengadilan atau dari kepolisian. Muryanto, dimana logika? Briptu Priya dalam kondisi mabuk membunuh dan menembak Nuki. Oknum polisi mabuk saja dihukum lebih berat, apalagi mabuk dan membunuh. Sementara itu kakak Nuki, Iis ( 32 ), juga mempertanyakan janji Kapolrestabes Semarang yang berjanji menjerat tersangka dengan dua pasal, yakni pasal tentang Kelalaian dan pasal tentang menghilangkan nyawa orang lain. Iis juga membantah bahwa saat ini pihak keluarganya telah berdamai dengan pihak pelaku. Menurut Iis, perwakilan kerabat Briptu Priya sudah seringkali datang kerumah orang tuanya namun kehadiran mereka ditolak karena alasan masih berduka. Bahkan, pihak keluarga Briptu Priya sempat mengirimkan petugas Babinkamtibmas Polsek Lamper datang ke rumahnya. Namun oleh Bapak ditolak, juga menolak uang tali asih. Bapak pikir keadilan tidak bisa dibeli dan tidak pernah berdamai dengan Briptu Priya. Kejaksaan Negeri Semarang resmi melayangkan nota keberatan atas vonis ringan pelaku penembakan petugas keamanan ( satpam ) PT Tunas Artha Gardatama Nuki Nugroh, Briptu Priya Yustanto. Pihak Kejaksaan berdalih bahwa hukuman yang diputuskan hakim masih belum maksimal. Pernyataan banding itu disampaikan Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Semarang, Mustaqpirin. Kejaksaan mengaku sudah menyatakan sikap dan segera menyusun materi banding untuk disampaikan ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang , Dr Rahmat Bowo Suhartono berpendapat vonis tersebut untuk Briptu Priya iru terlalu ringan. Disamping itu, putusan tersebut dinilai tak memenuhi rasa keadilan, terutama bagi keluarga korban. Menurut Rahmat mestinya harus dilihat latar belakang penyebab kelalaian Briptu Priya menggunakannya dalam keadaan mabuk, sementara Briptu Priya adalah aparat penegak hukum. Mestinya latar belakang itu dipertimbangkan menjadi pemberatan hukuman . Tuntutan 1,6 tahun dan putusan 1 tahun itu terlalu ringan. Rahmat juga mengatakan, perbuatan Priya itu memang memenuhi unsur pidana kelalaian. Karena tidak ditemukan motif kesengajaan dan perencanaan perbuatan yang menyebabkan meninggalnya satpam Nuki. Tapi Rahmat menggarisbawahi latar belakang penyebab kelalaian penggunaan senjata api oleh Briptu Priya. Dikatakan Rahmat, jika saat itu Briptu Priya dalam keadaan sedang bertugas, maka harus dikenakan pelanggaran kode etik kepolisian. Namun jika tidak sedang dalam tugas dinas, maka termasuk pidana Kapolrestabes Semarang, Kombes Pos Djihartono mantan Kabid Humas Polda Jawa Tengah menyatakan vonis setahun terhadap Briptu Priya menjadi wewenang pengadilan. Kendati demikian pihaknya akan memeriksa kembali kasus Briptu Priya. Djihartono juga menegaskan bahwa selain menjalani proses pidana, Briptu Priya masih akan menjalani sidang kode etik kepolisian . Menurut Djihartono akan periksa dulu apakah sidang internal ( kode etik ) sudah berjalan atau tidak.Soalnya kasus tersebut belum menjabat sebagai Kapolrestabes Semarang Terpisah, koordinator Indonesian Police Watch ( IPW ) Jateng Untung Budiarto, menyesalkan Briptu Priya hanya dijerat pasal kelalaian. Menurut Untung, keputusan ini menimbulkan polemik yang bisa berkepanjangan. Mengapa penyidik hanya menjerat dengan pasal kelalaian ? Sementara itu, Kabid Humas Polda Jateng, AKBP Lilik Darmanto mengatakan, ada aturan internal kepolisian yang menunggu Briptu priya Yustianto. Briptu Priya akan dihadapkan pada sidang kode etik kepolisian . Hukuman diatas tiga bulan pasti akan dikenakan sanksi internal. Lilik mengatakan sidang kode etik kepolsian yang memutuskan apakah anggauta yang bersalah itu masih layak dipertahankan sebagai polisi atau memang harus diberhentian secara tidak terhormat. ( andu ).

No comments:

Post a Comment