INDENPRES MEDIA ISTANA

Wednesday 6 November 2013

PRO KONTRA KIRAB 1 SURO DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA

SOLO Pro kontra kirab 1 suro Keraton Kasunanan Surakarta kian panas Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) PA Tedjowulan, yang pernah dinobatkan sebagai Pakubuwono XIII, menyebutkan acara yang digelar pada Selasa (5/11) dini hari bukan kirab 1 suro hanya arak-arakan biasa. Menurut Tedjowulan itu merupakan pembohongan publik dan tidak sah disebut kirab 1 suro. Keraton pernah tidka melaksanakan kirab, tapi kalau kirab tanpa ada pusaka itu belum pernah terjadi sepanjang berdirinya Keraton Surakarta. Tedjowulan, ditengah kisruh di Keraton Kasunanan Surakarta Solo, Pakubuwono XIII tidak merestui kirab 1 suro yang biasa dilakukan Keraton Solo. Kirab tetap digelar meski tidak melibatkan sejumlah pusaka Keraton penerus Kerajaan Mataram tersebut. Mengapa kirab tetap dilaksanakan padahal PB XIII tidka memberi restu ? Tedjowulan menyatakan tetap digelar karena masyarakat terlanjur berbondong-bondong datang ke Keraton. Keraton Kasunanan Surakarta membiarkan acara itu berlangsung agar suasana tidak makin memanas. Disinggung mengenai permintaan PB XIII membubarkan Lembaga Dewan Adat, pihaknya sudah meminta dan terus memonitor janji Walikota Surakarta yang akan membekukan. Menurut Tedjowulan, pengenaan membekukan Ormas ada pada pemangku wilayah. Terkait dengan sejumlah pihak yang tidak patuh terhadap PB XIII, Tedjowulan menyatakan akan ada konsekuensi spiritual dan psikologis. Istilah akan dapat halad (hukuman) Putra PB XII, GPH Soeryo Wicaksono menyatakan apabila Lembaga Dewan Adat dibekukan, Keraton akan mengumumkan Lembaga baru. Dalam lembaga tersebut nantinya ada badan pengelola Keraton sesuai Kepres No. 23 Tahun 1988 tentang status dan pengolahan Keraton Kasunanan Surakarta. Nantinya lembaga baru itu akan dikembalikan lagi seperti lembaga yang ada sebelum Lembaga Dewan Adat terbentuk. Lembaga baru nantinya semangatnya akan disesuaikan dengan jaman saat ini. Sementara sejarawan Solo Heri P. menyatakan sebenarnya keutamaan kirab 1 suro adalah kombinasi dari kirab pusaka dan iring-iringan Kiai Slamet Kebo Bule. Keduanya dipercaya memiliki daya magis yakni gabungan senjata tombak dan hewan sebagai makhluk hidup. Dalam mengejawantahkan kedua simbol tersebut, pusaka disimbolkan sebagai pemberi keselamatan sementara kebo bule yang kotorannya jadi rebutan masyarakat disimbolkan sebagai pemberi kesejahteraan. Seperti masyarakat agraris Surakarta percaya bahwa lethong tersebut bisa menyuburkan tanaman padi dan membawa kesejahteraan bagi hidupnya. Dalam riwayatnya, pusaka kenapa disimbolkan sebagai penyelamat karena pusaka tombak dahulu merupakan senjata dari PB XII saat berperang melawan Kerajaan Mataram Pangeran Mangkubumi. Konon Pangeran Mangkubumi gentar dan mundur ketika melihat pusaka tombak yang dibawa PB XII. Karena alsasan itulah kemudian pusaka tombak selalu menjadi bagian penting dalam kirab dan diperlambangkan sebagai pembawa keselamatan karena berkat sang tombak Kasunanan Surakarta luput dari gempuran Pangeran Mangkubumi. Pusaka itu wajib dikirab bersama sang kebo bule karena pusaka merupakan representasi dari kedigdayaan Raja. Raja merupakan waliyullah pada masanya dahulu. Kerajaan dalam hal ini Keraton Surakarta dipahami sebagai pusat kosmis atau jagad cilik dari empuya jagad raya. Dengan pemahaman itu Raja dianggap punya kekuatan yang lebih diantara orang kebanyakan. Kharismanya yang begitu kuat dipancarkan melalui pusakanya. Maka dari itu pusaka selalu menjadi bagian penting dalam kirab. Terkait dengan kirab yang dilaksanakan tanpa adanya pusaka Raja maka itu tentu mengurangi makna dari kirab itu sendiri. Istilahnya paketnya tidak lengkap. Ini tentu saja menimbulkan kerugian bagi memori kolektif yang dimatonai sebagai preseden buruk bagi mereka yang terbiasa dengan ritual kirab yang lengkap ada pusaka dan kebo bule. Hal lain yang penting disayangkan ini bias jadi menurunkan citra dari Keraton itu sendiri sebab aturan yang sudah baku yang sudah jadi adat dilanggar. Bayangkan aturan yang sudah turun temurun dan baku bisa ditawar tentu ini bisa menggoyang eksistensi Keraton itu sendiri. Mengapa dipilih kirab 1 suro karena hari itu dianggap yang sakral. (Andu)

No comments:

Post a Comment