Monday, 6 April 2020
Awas, Penumpang Gelap Krisis COVID-19.
Jakarta.----Pemerintah telah merilis tiga beleid baru untuk menangani krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 dan dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Namun, beleid itu juga memberi peluang hadirnya penumpang gelap yang akan memanfaatkan krisis sebagai dalih untuk menyelamatkan kepentingan mereka.
Selasa, 31 Maret 2020 lalu, pemerintah akhirnya menetapkan status darurat kesehatan bagi pandemi COVID-19 melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kebijakan ini bisa disebut terlambat, mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan status darurat nasional kepada Presiden Republik Indonesia melalui suratnya sejak 10 Maret 2020 lalu. Rekomendasi tersebut bukanlah hal yang mengada-ada, mengingat WHO sendiri telah menetapkan status darurat global untuk menghadapi COVID-19, dan hampir semua negara telah menerapkannya.
Sebagai pelengkap dari Keppres tersebut, pemerintah juga telah merilis dua beleid lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar—yang merupakan turunan dari UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, serta Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Dari tiga beleid itu, tertarik untuk mencermati Perppu No. 1/2020, yang bisa kita ringkas sebagai Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Meskipun judul utamanya adalah darurat kesehatan dan penanganan pandemi, di mana pemerintah telah mengajukan tambahan anggaran belanja APBN 2020 senilai Rp 405,1 triliun, namun sesudah saya cermati, porsi terbesarnya, yaitu 54,3 persen, ternyata digunakan untuk memberikan insentif ekonomi serta relaksasi pajak korporasi.
Anggaran belanja kesehatannya hanyalah 18,5 persen, dan anggaran social safety net juga “hanya” sebesar 27,1 persen. Tanpa penjelasan yang memadai, insentif ekonomi dan relaksasi pajak ini bisa menjadi kebijakan abu-abu. Karena, praktiknya bisa sangat berlainan dengan judulnya.
Apalagi, ada sejumlah pasal di dalam Perppu No. 1/2020 yang rentan terhadap penyelewengan sekaligus menimbulkan tanda tanya. Pertama, di dalam Pasal 27, dinyatakan jika segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan Perppu tersebut tak boleh dianggap sebagai kerugian negara, karena merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk mengatasi krisis. Ketentuan itu berlaku untuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, para pejabat yang terlibat di dalamnya, seperti anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, atau organisasi terkait lainnya, juga tak bisa digugat ke pengadilan, baik secara perdata maupun pidana. Semua keputusan yang diambil berdasarkan Perppu tersebut juga tidak bisa digugat ke peradilan tata usaha negara. ( RZ/ WK )***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment