INDENPERS MEDIA ISTANA JAKARTA---------
RAPBN 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan untuk bisa mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.262,9 triliun atau naik 10,5% dibandingkan dengan Outlook APBN 2021 yang sebesar Rp 1.142,5 triliun.
Seolah pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman yang sudah bertahun-tahun silam, bahwa penerimaan pajak selalu tidak pernah memenuhi target atau mengalami shortfall pajak.
Kementerian Keuangan mencatat, hingga 31 Desember 2020 penerimaan pajak hanya mampu terkumpul Rp 1.069,98 triliun atau 89,25% dari target yang ditetapkan Rp 1.198,8 triliun dalam Peraturan Presiden (Perpres) 72/2020. Artinya ada kekurangan shortfall pajak sebesar Rp 128,8 triliun.
Jika menelisik ke belakang, ternyata kekurangan penerimaan pajak sudah terjadi cukup lama. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Indenpers Media Istana. Penerimaan pajak tidak pernah capai target sejak 2009 lalu.
Terakhir penerimaan pajak mencapai target yakni pada tahun 2018 saat pemerintahan pertama Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pada saat itu, penerimaan pajak berhasil tembus target yakni 106,7% atau terealisasi Rp 571 triliun dari target Rp 535 triliun di APBN. Dengan realisasi ini maka tercatat penerimaan pajak mengalami surplus sebesar Rp 36 triliun.
Prestasi mencengangkan itu terjadi di era kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati saat ia pertama kali sebagai Menteri Keuangan. Kala itu, tercapainya realisasi penerimaan pajak tak lepas dari program sunset policy yang merupakan fasilitas dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga.
Namun, sejak tahun 2008, penerimaan pajak tidak pernah lagi mencapai target. Dan ditambah dengan tahun 2020, maka ini menjadi tahun ke 12 Indonesia mengalami shortfall pajak.
Bahkan pada tahun ini, berdasarkan Buku Nota Keuangan RAPBN 2022 outlook penerimaan pajak hanya mampu mencapai Rp 1.142,5 triliun atau diproyeksikan terjadi shortfall pajak sebesar Rp 87,1 triliun dari target APBN 2021 yang sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Ekonom Indef, Abra El Talattov mengungkapkan Indonesia tahun depan masih dalam fase pemulihan. Target pertumbuhan ekonomi 5-5,5% bisa memberikan sinyal positif atau optimisme akan pemulihan masih akan berlanjut.
Namun dengan risiko yang tinggi, kebijakan pemerintah seperti pajak harusnya ikut membantu pemulihan. Misalnya dengan pemberian insentif kepada dunia usaha. Bukan dengan memasang target penerimaan pajak yang tinggi.
"Kalau ditarik dari 2014-2020, pertumbuhan pajak rata-rata setahun itu hanya 2,9%, dengan catatan hanya dalam situasi normal," jelas Abra baru- baru ini.
Tingginya target pajak menjadi sinyal negatif bagi dunia usaha dan masyarakat umum. Sebab memungkinkan petugas pajak makin galak mengejar penerimaan.
"Dunia usaha dan masyarakat akan jadi sasaran untuk memenuhi pembiayaan belanja pemerintah di tahun depan," jelas Abra.
"Cukup mengkhawatirkan, membacanya pemerintah punya optimisme besar, tapi belum tentu merefleksikan aktual di waktu mendatang," kata Abra melanjutkan.(RZ/WK)***
No comments:
Post a Comment