INDENPRES MEDIA ISTANA

Saturday, 21 August 2021

Dipakai Jokowi, Pakaian Adat Baduy Simbol Perjuangan Hak dan Budaya AslI Indonesia.


INDENPERS MEDIA ISTANA, JAKARTA-----------


Presidium Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98), Rizki Faisal menyebut, pihak yang mencemooh Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena menggunakan baju adat Baduy saat pidato Kepresidenan di Sidang Tahunan MPR RI 2021, benar-benar gagal faham. Pasalnya, pakaian itu merupakan budaya asli dari Indonesia.

"Mereka yang mencemooh Presiden Jokowi itu adalah orang yang gagal paham. Karena sesungguhnya pesan yang disampaikan Presiden dengan mengenakan pakaian adat Baduy adalah simbol seorang Presiden yang berpihak serta memperjuangkan hak, budaya dan tanah adat asli Indonesia," katanya baru- baru ini.

Rizki Faisal yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPRD Kepulauan Riau (Kepri) ini mengungkapkan, sejak Jokowi memimpin Indonesia, sudah menjadi tradisi di saat Sidang Tahunan MPR RI dan peringatan Hari Kemerdekaan, orang nomor 1 di negeri ini selalu mengenakan pakaian adat. Sehingga tidak perlu ada pernyataan miring seharusnya, ketika pada Sidang Tahunan MPR RI 2021 kemarin Presiden mengangkat kebudayaan suku Baduy.

"Ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan Kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak seharusnya ada pernyataan miring atas hal itu," ujar politikus Golkar ini.

Selain itu, diungkapkannya, tingkat kepedulian Presiden Jokowi terhadap masyarakat seharusnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Sesungguhnya pesan tersebutlah yang sedang ditegaskan Jokowi saat mengenakan pakaian adat Baduy itu.

"Salah satu yang masuk dalam Undang-Undang Cipta Kerja memberikan keberpihakan dan melindungi masyarakat adat, terutama yang tinggal di kawasan hutan dan kebun. Dalam UU Cipta Kerja, masyarakat adat akan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan, konservasi hingga Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)," terang Rizki.

Selain itu, menurut Rizki, UU Cipta Kerja juga membahas persoalan lingkungan hutan yang terbagi atas dua bagian, yakni bagian persetujuan lingkungan yang menjadi persyaratan dasar perizinan berusaha dan bagian perizinan berusaha serta kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan.

Keduanya berasal dari tiga UU berbeda yakni UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

"Penyatuan ini akan membuat aturan semakin mudah dipahami dan tidak akan merepotkan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan," kata Ketua Ormas MKGR Kepri ini.

Karena itu, UU Cipta Kerja akan memberikan peluang kepada rakyat untuk mengelola hutan dan melindungi masyarakat adat yang diatur dalam sejumlah pasal. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 UU Kehutanan disisipkan 2 (dua) pasal baru yakni Pasal 29A dan Pasal 29B yang salah satunya mengatur penguatan perhutanan sosial.

Dalam mengelola negara tentu Presiden masih ada kekurangan yang terus menerus diperbaiki, tapi komitmen pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat adat tak perlu diragukan. Sebaiknya semua komponen masyarakat termasuk Ormas, LSM, Mahasiswa dan lain-lain dapat bahu membahu bersama pemerintah untuk dapat menata bangsa ini khususnya dalam hal masyarakat adat.

"Jangn cuma bisa bicara atau kritik tanpa dasar saja, tapi lakukanlah kritik yang berdasar sekaligus disertai masukan solusi yang dapat membantu pemerintah untuk perbaikan bangsa ini," lanjutnya.(RZ/ WK)**

No comments:

Post a Comment