INDENPRES MEDIA ISTANA

Saturday 11 January 2014

MUSIM HUJAN TERJADI BANJIR MENGHANTUI KOTA SEMARANG.

Pada musim hujan sejak siang hingga petang hari, Kota Semarang terancam tenggelam. Setidaknya sebagian wilayah yang selama ini lolos dari banjir, mulai tenggelam. Apalagi kawasan yang menjadi langganan banjir, air semakin tinggi memasuki areal mereka. Siswa-siswi SD Muktiharjo Kidul harus mengangkat pakaian mereka lebih tinggi untuk memasuki ruang kelas. Akibatnya proses belajar mengajar di sekolah tersebut praktis terganggu. Tak terkecuali di jalan raya Kaligawe yang sudah ditinggikan dan dibeton pada empat tahun lalu. Tepatnya di titik dekat perlintasan kereta api, terjadi genangan meski hujan telah mereda sehari berikutnya. Kemacetan dan kendaraan mogok tak bias dihindari. Adu argument dalam diskusi melibatkan pakar dan instansi pemerintah sudah tak terhitung lagi. Gagasan brilian seringkali dilontarkan, apalagi ketika terjadi suksesi kepimpinan, baik di level pemerintah provinsi maupun kota. Hasilnya Ibukota Provinsi Jateng tetap tak luput dari banjir. Semua mengetahui salah satu penyebabnya banjir adalah penyalahgunaan tata guna lahan. Area yang semestinya menjadi daerah serapan dan tampungan air berubah fungsi menjadi lahan permukiman. Terutama di wilayah Semarang atas. Tidak persoalan ketika terjadi pengganti dengan memburu waduk-waduk di pemukiman tersebut. Namun, sudahkah semua pemukiman yang merusak tata guna lahan tersebut menyediakan tampungan air hujan ? Kondisi tersebut memprihatinkan banyak pihak. Kota Semarang selama ini dikenal dengan lagu yang melegenda. “SEMARANG KALINE BANJIR JO SUMELANG RAK DIPIKIR. ( Semarang Sungainya Banjir, Tidak Usah Khawatir Kalau Tidak Dipikir )”. Lagu ciptaan Anjarany yang dinyanyikan oleh Waljinah itu mengingatkan kepada semua pihak untuk peduli dengan lingkungan Semarang banjir sudah biasa, berbagai gagasan untuk mengendalikan luapan air juga kerap disuarakan. Namun, ancaman banjir dimusim penghujan setiap saat mengintai. Yang dibutuhkan tentu tidak sekadar wacana. Terlalu banyak gagasan namun minim implementasi bukanlah solusi. Berbagai kendala menghambat proses penanganan banjir. Peraturan mengenai rencana tata Ruang Wilayah ( RTRW) memang bisa diubah setiap tahun. Ini tergantung komitmen pembuat peraturan. Pertanyaannya, apakah membuat regulasi tersebut peduli dengan lingkungan atau lebih kosentrasi dengan keuntungan sendiri ? Ketika pembuat kebijakan lebih memprioritaskan kepentingan materi, tinggal menunggu waktu Semarang bawah benar-benar tenggelam. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kebiasaan warga untuk menjaga kebersihan dan ketertiban. Membuang sampah pada tempatnya merupakan langkah kecil, tetapi besar manfaatnya. Perilaku membuang sampah di sungai harus dihilangkan. Menjaga kebersihan lingkungan menjadi bentuk pencegahan banjir yang efektif, ketimbang menangani banjir ketika air telah menetjang rumah. (***).

No comments:

Post a Comment