INDENPRES MEDIA ISTANA

Thursday 23 January 2014

HUJAN SEBAGAI KAMBING HITAM DIKARENAKAN MENGAKIBATKAN BANJIR.


            Banjir dimana-mana. Setelah Kota Manado dilupuhkan air bah, Jakarta, terkepung “ genangan “, sejumlah kawasan di Jawa Tengah. Sejumlah di JawaTengah juga diterjang luapan air dari sungai atau air hujan yang tak tertampung saluran.
            Satu pihak, ada yang berkepentingan ingin menenggelamkan popularitas Jokowi dibanjir Jakarta, satu pihak kemudian menyebut upaya sang gubenur memang belum selesai, sehingga genangan pun masih terjadi.
            Bencana itu kemudian tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tata kota, dan iklim, tapi sudah mengarah pada aspek politik. Ketika Gubenur Jakarta, Joko Widodo menyebut tingginya cursh “hujan “ sebagai biang banjir, Badan Metrologi dan Geofasika ( BMKG ) membantahnya. Silang pendapat pun melebar hingga melibatkan banyak tokoh dengan latar belakang kepentingan politik yang berbeda.
            Banyak pihak yang menuding pengusaha setempat tidak bisa melakukan penataan wilayah, sehingga air hujan tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya.
            Tanpa atau dengan kesadaran penuh, penguasa daerah tidak mengimbangi pengurangan kawasan resapan air itu dengan penambahan volume saluran air. Bahkan, bisa jadi tidak ada perhitungan yang detail tentang beberapa volume air yang tidak terserap tanah, ketika setiap satu meter persegi kawasan resapan tertanami beton.
            Ketidakberesan penataan wilayah itu diantaranya banyak penguasa daerah yang merasa tidak memandang penting pembangunan saluran air secara seimbang dengan jumlah kawasan resapan yang beralih fungsi.
            Bila resapan tanah tidak mampu menampung air hujan maka dibutuhkan saluran air yang berkapasitas ( volume dan kecepatan aliran ) sama dengan volume limpahan air hujan yang tak terserap tanah.
            Padahal, secara eksak semua itu bisa dihitung. Misalnya, karena intensitas hujan maksimal di sebuah wilayah berada pada angka tertentu, maka dibutuhkan kemampuan resapan tanah pada angka tertentu.
            Rekayasa saluran air ( selokan, kali, sungai atau apapun namanya ), adalah satu-satunya hal yang paling mungkin dilakukan untuk mengantisipasi banjir yang sudah menjadi nasional. Sebab, untuk mengembalikan alam pada-pada kondisi semula, tentu hanya “ mesin waktu “
 yang bisa melakukannya.
            Peringatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi ) Nasional agar tidak menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir, tampaknya  bisa menjadi titik awal mengubah cara berpikir kita semua.
            Sambil menunggu proses rekayasa saluran air yang sedang atau akan dilakukan. Baru dipikirkan atau baru akan dipikirkan para penguasa daerah dan pusat, tentu saja semua pihak harus menghentikan berbagai kebijakan yang selama ini telah nyata menjadi biar menurunnya daya serap tanah ( penggundulan hutan dan alih fungsi lahan ).
            Dengan cara itu. Kita akan semakin arif pada alam dan semakin hati-hati melakukan penataan kota utamanya saat memanfaatkan lahan untuk pembangunan fifik. Dengan kita tidak menganggap banjir sebagai konsekwensi logis dari hujan, maka kita akan semakin ramah pada alam ( *** ).

No comments:

Post a Comment