Banjir dimana-mana. Setelah Kota
Manado dilupuhkan air bah, Jakarta, terkepung “ genangan “, sejumlah kawasan di
Jawa Tengah. Sejumlah di JawaTengah juga diterjang luapan air dari sungai atau
air hujan yang tak tertampung saluran.
Satu
pihak, ada yang berkepentingan ingin menenggelamkan popularitas Jokowi dibanjir
Jakarta, satu pihak kemudian menyebut upaya sang gubenur memang belum selesai,
sehingga genangan pun masih terjadi.
Bencana
itu kemudian tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tata kota, dan iklim, tapi
sudah mengarah pada aspek politik. Ketika Gubenur Jakarta, Joko Widodo menyebut
tingginya cursh “hujan “ sebagai biang banjir, Badan Metrologi dan Geofasika (
BMKG ) membantahnya. Silang pendapat pun melebar hingga melibatkan banyak tokoh
dengan latar belakang kepentingan politik yang berbeda.
Banyak
pihak yang menuding pengusaha setempat tidak bisa melakukan penataan wilayah,
sehingga air hujan tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya.
Tanpa
atau dengan kesadaran penuh, penguasa daerah tidak mengimbangi pengurangan
kawasan resapan air itu dengan penambahan volume saluran air. Bahkan, bisa jadi
tidak ada perhitungan yang detail tentang beberapa volume air yang tidak
terserap tanah, ketika setiap satu meter persegi kawasan resapan tertanami
beton.
Ketidakberesan
penataan wilayah itu diantaranya banyak penguasa daerah yang merasa tidak
memandang penting pembangunan saluran air secara seimbang dengan jumlah kawasan
resapan yang beralih fungsi.
Bila
resapan tanah tidak mampu menampung air hujan maka dibutuhkan saluran air yang
berkapasitas ( volume dan kecepatan aliran ) sama dengan volume limpahan air
hujan yang tak terserap tanah.
Padahal,
secara eksak semua itu bisa dihitung. Misalnya, karena intensitas hujan
maksimal di sebuah wilayah berada pada angka tertentu, maka dibutuhkan
kemampuan resapan tanah pada angka tertentu.
Rekayasa
saluran air ( selokan, kali, sungai atau apapun namanya ), adalah satu-satunya
hal yang paling mungkin dilakukan untuk mengantisipasi banjir yang sudah
menjadi nasional. Sebab, untuk mengembalikan alam pada-pada kondisi semula,
tentu hanya “ mesin waktu “
yang bisa melakukannya.
Peringatan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi ) Nasional agar tidak menyalahkan
hujan sebagai penyebab banjir, tampaknya
bisa menjadi titik awal mengubah cara berpikir kita semua.
Sambil
menunggu proses rekayasa saluran air yang sedang atau akan dilakukan. Baru
dipikirkan atau baru akan dipikirkan para penguasa daerah dan pusat, tentu saja
semua pihak harus menghentikan berbagai kebijakan yang selama ini telah nyata
menjadi biar menurunnya daya serap tanah ( penggundulan hutan dan alih fungsi
lahan ).
Dengan
cara itu. Kita akan semakin arif pada alam dan semakin hati-hati melakukan
penataan kota utamanya saat memanfaatkan lahan untuk pembangunan fifik. Dengan
kita tidak menganggap banjir sebagai konsekwensi logis dari hujan, maka kita
akan semakin ramah pada alam ( *** ).
No comments:
Post a Comment