Tuesday, 24 March 2020
Jika Rupiah Tembus Rp 17.000/US$, Jangan Samakan dengan 1998.
Jakarta.----- - Pasar keuangan dalam negeri sekali lagi mengalami aksi jual pada perdagangan Senin (23/3/2020), kemarin.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles lagi pada perdagangan Senin (23/3/2020) hingga mengakhiri perdagangan di bawah level 4.000 untuk pertama kalinya dalam nyaris 7 tahun terakhir.
Perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali diberhentikan selama 30 menit (trading halt) setelah IHSG ambles 5,01% pada pukul 14:52 WIB. Ini merupakan kali ke-lima perdagangan mengalami trading halt sejak dua pekan lalu.
Setelah perdagangan kembali dibuka, IHSG mampu memangkas pelemahan, mengakhiri perdagangan di level 3.989,517 melemah 4,9%. Ini menjadi pertama kalinya IHSG menutup perdagangan di bawah 4.000 sejak 27 Agustus 2013.
Pada Jumat (19/3/2020) IHSG sempat ambles ke bawah level 4.000, tetapi berhasil bangkit dan mencatat penguatan lebih dari 2%. Tetapi sepanjang pekan lalu, IHSG ambles 14,52%. Penurunan nyaris 15% tersebut menjadi penurunan terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, pada bulan Oktober 2008, IHSG ambrol lebih dari 20% dalam sepekan.
Berdasarkan data dari RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih secara year-to-date (YTD) hingga hari ini sebesar Rp 10,22 triliun di all market.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 naik 14,6 basis poin (bps) ke 8,245%, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Ketika harga turun, berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.
Ini berarti sejak awal tahun hingga pekan lalu terjadi capital outflow nyaris Rp 100 triliun. Dampaknya nilai tukar rupiah terus tertekan sepanjang bulan ini, Senin kemarin ambles lagi 4.05% ke Rp 16.550/US$ kemarin, bahkan sebelumnya sempat menyentuh level terlemah intraday Rp 16.620/US$.
Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 17 Juni 1998, kala itu rupiah menyentuh level terlemah intraday Rp 16.800/US$, sekaligus merupakan rekor terlemah sepanjang masa.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat yang menyebabkan nilai tukarnya merosot.
Aksi jual sebenarnya terjadi di pasar finansial global, tidak hanya Indonesia. Tetapi akibat besarnya capital outflow, rupiah menjadi terpukul.
Pandemi virus corona (COVID-19) yang penyebarannya semakin masif membuat perekonomian global melambat, bahkan berisiko mengalami resesi. Aksi jual pun tak terelakkan. Bahkan emas, yang merupakan aset aman (safe haven) juga mengalami aksi jual. Para pelaku pasar ini dikatakan lebih memilih uang tunai dibandingkan berinvestasi. ( RZ/ WK )***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment