L
INDENPERS MEDIA ISTANA, JAKARTA-----------Kaharudin Ongko, eks pemegang saham tertinggi Bank Umum Nasional (BUN), kini menjadi salah satu orang yang diawasi dan dicari oleh Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI).
Kaharudin Ongko merupakan pemilik sekaligus Wakil Komisaris Utama BUN. BUN didirikan oleh beberapa tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta pada 2 September 1952.
Pada tahun 1954, BUN berhasil meningkatkan statusnya dari bank swasta non-devisa menjadi bank devisa. Pada tahun 1967, jumlah cabangnya telah mencapai 11 cabang di Indonesia.
Seiring jalannya waktu, pemilik tidak mampu mengelola perkembangan bank sesuai dengan tuntutan zaman, pada awal era Orde Baru mereka menyerahkan manajemen serta saham bank kepada sekelompok pengusaha swasta di bawah pimpinan Kaharudin Ongko.
Kaharudin Ongko adalah seorang 'raja keramik Indonesia' karena KIA-nya, menjadi pemegang saham mayoritas BUN. Di bawah manajemen baru, bank ini mulai berkembang pesat, baik dalam jumlah aset, laba yang diperoleh, maupun perluasan jaringan usaha.
Krisis moneter 1997 menghantam, perbankan di Indonesia collapse, tak terkecuali BUN. Untuk menahan kebangkrutan di tubuh BUN saat krisis moneter, pemerintah melalui BLBI menyuntikkan dana bantuan total senilai Rp 12 triliun lebih.
Dari jumlah tersebut Rp 8,34 triliun di antaranya mengalir ke kas BUN. Namun, BUN tetap tidak tertolong, bukan hanya karena ditarik masif oleh nasabahnya, namun juga dijebol oleh grup Ongko sendiri.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Ongko memiliki simpanan di BUN, di antaranya adalah PT KIA Keramik Mas, PT Ongko Sekuritas, PT Indokisar Djaya, dan PT Bunas Finance Indonesia.
Pengalihan dana dilakukan menggunakan cek, bilyet, giro, dan transfer. Padahal, ketentuan dana BLBI tak boleh disalurkan ke pemilik dan manajemen bank, serta pihak-pihak terkait.
Usaha licik Ongko tersebut terendus oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Pada 2003 silam, Kaharudin Ongko didakwa 16 tahun penjara karena diyakini telah menggelapkan Rp 6,7 triliun dana BLBI.
Di balik Undang-Undang Perseroan Terbatas yang berlaku saat itu, Ongko menyatakan bahwa sebagai komisaris dia tidak ikut campur dalam urusan operasional bank yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab direksi.
Atas dalih tersebut, dakwaan 16 tahun penjara kepada Ongko kemudian digugurkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Ongko dinyatakan bebas. Sejak pembebasannya saat itu, Ongko sulit dijangkau.
Dari berbagai sumber pemberitaan, ada yang mengatakan Ongko telah kabur ke luar negeri.
Kini, Satgas BLBI kembali mencari Ongko. Seperti dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (4/9/2021) dari lembaran pengumuman dengan nomor S-3/KSB/PP/2021 tersebut, total tagihan yang harus dibayarkan adalah Rp 8,2 triliun.
Tagihan itu meliputi, Rp 7,8 triliun dari PKPS Bank Umum Nasional (BUN) dan Rp 359,4 miliar dari PKPS Bank Arya Panduarta.
Kaharudin diketahui memiliki tiga alamat, yaitu Paterson Hill Singapura dan dua lainnya di dalam negeri antara lain di Setiabudi, Jakarta Selatan dan Menteng Jakarta Pusat.
Satgas menginginkan kehadiran Kaharudin pada Selasa 7 September 2021 di kantor Kementerian Keuangan dan menemui Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim C.(RZ/WK)***
No comments:
Post a Comment