INDENPERS MEDIA ISTANA, JAKARTA-----Jokowi tidak ingin disebut sebagai bapak infrastruktur Indonesia. Justru Jokowi sering menyorongkan Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR menyandang sebutan itu.
Kenapa begitu? Pertama, karena Jokowi rendah hati. Yang kedua, ia tidak ingin berhenti pada hasil fisik belaka.
Jika melihat lebih luas, Jokowi memang tidak hanya membangun infrastruktur, tapi merombak tatanan. Keterbatasan infrastruktur hanyalah salah satu masalah yang menimbulkan masalah lain. Terutama kemiskinan.
Di Indonesia Timur, nama Jokowi menjadi legenda. Bagi mereka, ia bukan sekadar presiden, tapi seorang yang visioner. Manusia yang merasakan kepedihan manusia lain. Mereka yang diabaikan oleh negara dalam waktu yang sangat lama. Untuk mereka, kata-kata saja tidak cukup.
Dan Jokowi adalah figur yang tepat. Ia pribadi yang tak banyak omong. Ada masalah, langsung dicari solusinya. Maka setiap mendatangi suatu wilayah, Jokowi akan bertanya pada kepala daerah dan masyarakat di sana, “Kalian minta apa?”
Kepala daerah yang visioner akan melihat jauh ke depan. Menimbang potensi dan manfaat jangka panjang. Ada yang minta bendungan, karena melihat potensi pertanian. Ada yang meminta jalan, karena melihat potensi perekonomian. Ada yang minta pelabuhan, bandara, pasar, stadion, sirkuit balap, dan seterusnya.
Kisah inilah yang digambarkan oleh Darmawan Prasodjo dalam sebuah buku berjudul: Jokowi Mewujudkan Mimpi Indonesia. Di buku ini, Darmo–demikian ia biasa disebut–melukiskan Jokowi sebagai figur yang sedang mewakili orang-orang seperti dirinya dulu, sebagai rakyat. Buku ini tidak hanya menceritakan kehidupan sang tokoh, tapi menekankan pada keberhasilan dalam mengeksekusi kebijakan.
Jokowi pernah hidup di bantaran Kali Anyar. Bersama teman kecilnya yang bernama Bandi, Joko kecil memahami getirnya menjadi kaum pinggiran. Hiburan yang dia lakukan bersama Bandi adalah menyusuri sungai dan mencari telur bebek. Di sanalah ia menyaksikan tetangganya yang miskin hidup dengan bersusah-payah.
Kenyataan hidup suram itulah yang membekas dalam dirinya. Di kemudian hari, hal itu pula yang membuat Jokowi masuk ke palagan politik. Ia ingin mengubah nasib banyak orang. Padahal saat itu ia dan keluarganya sudah hidup mapan. Namun ia mengambil risiko menerima bisingnya dunia politik.
Dan nasib membawanya melesat jauh. Gaya kepemimpinan yang mewakili akar rumput itu membuat Jokowi mengubah banyak hal. Seperti yang saya katakan tadi, di Indonesia Timur ia menjadi legenda. Kedatangannya disambut sedemikian antusias di sana. Kecintaan kepadanya diluapkan dengan tulus. Sebab sebagai bangsa Indonesia, mereka merasa terwakili oleh kepedulian Jokowi.
Sekarang Indonesia telah memasuki zaman berbeda. Di Ambon ada bandara kecil yang menjadi trigger perekonomian. Dari Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku Tengah, sekarang bisa langsung dijual ke luar negeri. Dari Manado bisa langsung ekspor ikan ke Amerika. Padahal dulu ikan-ikan itu dibiarkan busuk, karena tidak bisa dijual.
Proses konektivitas di Papua sekarang sudah sangat terasa. Sorong-Manokmari sudah 80% beraspal. Sekarang hanya membutuhkan waktu sembilan jam, padahal dulu memakan waktu tiga-empat hari. Dari Sorong ke Maybrat dulu butuh waktu tiga hari karena harus jalan kaki, sekarang hanya tiga jam.
Jokowi bukan tipe orang yang sibuk dengan wacana. Ia menjadikan dirinya sebagai rakyat. Oleh sebab itu semua kebijakannya bertumpu pada satu hal: welas asih. Atas dasar inilah program BBM Satu Harga diwujudkan. Untuk menjangkau saudara sebangsa yang ada di pinggiran dengan asas keadilan.
Ia memiliki keberanian dalam membuat terobosan. Misalnya dalam hal pembiayaan pembangunan ada KPBU, Dana Talangan, Investasi, tidak hanya mengandalkan APBN. Jokowi memakai produk hukum untuk melindungi pembangunan. Karena itulah program mangkrak bisa diselesaikan. Kemampuan itulah yang membedakan. ( RZ/WK )***
No comments:
Post a Comment