INDENPRES MEDIA ISTANA

Saturday 8 December 2012

Gedung Sobokartti Saksi Bisu Pergumulan Intelektual Muda Zaman Belanda.

Semarang- Jawa Tengah.
         Gedung Sobokartti Semarang dikenal sebagai tempat pelatihan beragam kesenian tradisional. Namun siapa sangka bangunan yang dibuat pada tahun 1931 silam oleh arsitektur Belanda, Herman Thomas Karsten ini merupakan saksi bisu pergumulan para intelektual muda Kota Semarang dalam masa perjuangan. Diskusi tentang nasionalisme dan kebudayaan tercetus di tempat ini.
         Sebelum Indonesia Merdeka, selain sebagai pusat pelatihan dan pertunjukan kesenian tari, karawitan, dan pedalangan, gedung ini juga sebagai arena diskusi para kaum intelektual muda Semarang dari berbagai etnis. baik itu Jawa, China, maupun Belanda. Mereka sama-sama membicarakan tentang nasionalisme dan kebudayaan.
          Ketua Perkumpulan Sobokartti, Tjahyono Rahardjo mengatakan, pada awalnya pembangunan gedung tersebut sebagai produk politik etis pemerintah Belanda terhadap warga jajahannya untuk pendidikan kesenian. Melalui Gedung Sobokartti, kesenian yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh kalangan keraton, kemudian didekatkan dengan rakyat.
          Melalui anak muda, kesenian tradisional atau kesenian keraton dan kebudayaan Jawa diakrabkan di tengah-tengah masyarakat, baik melalui pertunjukan pertunjukan maupun pemahaman pemikiran. Saat itu meskipun Indonesia belum merdeka, kesenian tradisional sangat maju, bahkan pernah ditampilkan di luar negeri.
           Menurut Tjahyono, hasil diskusi para intelektual muda Semarang itu ditulis dalam majalah Dee Teak. Diskusi itu banyak diisi oleh orang-orang muda Semarang yang saat itu punya kesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi. Dan arsip kata Tjahyono, ada di Belanda.
           Dari tahun ke tahun, fungsi Gedung Sobokartti terus tereduksi. Saat ini hanya ada pelatihan dan kesenian tari, karawitan, pedalangan, dan pranatacara. Diskusi kebudayaannya belum maksimal.
            Dalam perhelatan tersebut kelompok Sobokartti sengaja merangkul semua kalangan mulai dari anak-anak sampai orang tua. Kegiatan itu untuk membongkar pemahaman publik yang menilai Sobokartti hanya sebagai tempat kesenian tradisional dan seniman tua.
           Dijelaskan pula oleh Tjahyono bahwa, anak-anak yang mau belajar kesenian tradisional lagi karena memang saat ini pilihannya banyak. Memang juga karena orang tua tidak mengenalkan kepada anak-anaknya.
          Yang memprihatinkan saat ini ketika hujan lantai gedung yang sudah pernah dipugar oleh Badan Cagar Budaya Jawa Tengah ini tergenang banjir. Untuk menanganinya maka harus dipompa.
           Tjahyono Rahardjo berharap Gedung Sobokartti bebas banjir sehingga aktivitas kebudayaan bisa berjalan dengan lancar dan kembali menjadi tempat perkumpulan orang-orang berkebudayaan. ( Andu ).
   

No comments:

Post a Comment