INDENPRES MEDIA ISTANA

Tuesday, 9 February 2021

Semarang Banjir Lagi.

INDENPERS MEDIA ISTANA-----Persoalan banjir memang merupakan masalah klasik bagi Kota Semarang. Tetapi kali ini jangan dianggap remeh dan main-main. Pasalnya, pada akhir Oktober 2019 lalu, organisasi nirlaba Climate Central merilis model peta dunia yang menunjukkan prediksi kota-kota yang akan terdampak kenaikan air laut dan rob pada tahun 2050.

Sebuah peringatan penting dan perlu diwaspadai, pada tahun 2050, Kota Semarang terancam bakal tenggelam dan krisis air. Para peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bulan Agustus 2019 lalu menyampaikan prediksi tahun 2040, Pulau Jawa bakal kehilangan hampir semua sumber air bersih. Penduduk yang tinggal di Pulau Jawa akan kesulitan mendapatkan air, bahkan sekadar untuk air minum.

Koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima), Ellen Nugroho, dalam aksi #JedaUntukIklim (climate strike) lalu, pernah meminta adanya kebijakan konkrit di lingkup Kota Semarang sebagai bagian dari upaya mengerem laju krisis iklim. 

Hal ini harus serius direspons. Pasalnya, menurut International Panel on Climate Change (IPCC), tinggal tersisa sekitar sepuluh tahun lagi untuk menentukan apakah kita bisa mencegah suhu Bumi tidak naik melampaui 1,5⁰C dibanding masa pra-industri.

Langkah strategis

Pemerintah dan warga Kota Semarang harus tanggap dan melakukan langkah-langkah strategis untuk mengerem laju krisis iklim dan mencegah Semarang tenggelam, antara lain; Pertama, menurunkan emisi karbon dengan mengurangi, mengganti, atau menghentikan pemakaian bahan bakar fosil dan membuat kebijakan yang mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum. 

Kedua, melakukan penghijauan secara agresif dan mencegah alih fungsi kawasan hutan menjadi permukiman atau industri. Ketiga, mengendalikan laju pertambahan penduduk. Keempat, memberikan edukasi ke masyarakat untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Kelima, meningkatkan standar soal bangunan dan gaya hidup hemat energi. 

Keenam, menghentikan pembangunan, khususnya di daerah pesisir Kota Semarang, untuk mencegah penurunan muka tanah Kota Semarang. Ketujuh, moratorium izin industri di Kota Semarang. Kedelapan, mengeluarkan larangan kepada industri, hotel, dan mal untuk melakukan ekstraksi air tanah. Dan Kesembilan, mencabut izin industri yang melakukan pencemaran lingkungan.

Menurut Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Walhi, Yuyun Harmono, pembangunan kawasan pesisir Semarang – Demak harus berbasis masyarakat lokal. Pemerintah Kota Semarang harus punya political will untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Masyarakat harus, dilibatkan, diedukasi tentang mitigasi, persoalannya proses adaptasi itu ada batasnya. Pemerintah Kota Semarang jangan hanya mengejar proyek infrastruktur untuk mengatasi rob dan banjir dengan membangun tol dan tanggul di pesisir. Tetapi juga harus mempertimbangkan dampak iklim yang disebabkan pemanasan global. Dampaknya juga harus dipikirkan dan diantisipasi.

Skenario untuk mengantisipasi jika kondisi terburuk sampai terjadi harus disiapkan. Kemudian memberi jaminan perekonomian masyarakat masih tetap bergulir. Pemerintah juga bisa membekali masyarakat keterampilan yang bermanfaat untuk mencari penghasilan, selain yang berasal dari laut yang selama ini dilakoninya. Pemerintah dalam pembangunan harus mempertimbangkan kearifan lokal setempat. Reboisasi mangrove bisa menjadi pilihan ke depannya juga bisa dimanfaatkan untuk minatani – perpaduan reboisasi mangrove dengan tambak bandeng atau udang (silvofisheri), destinasi wisata dan yang lainya.(Rz/WK)***

No comments:

Post a Comment