INDENPERS MEDIA, JAKARTA------------Impian bapak-bapak usia 40 tahun yang hidup di bawah garis kemiskinan di pinggiran ibu kota sebenarnya sederhana. Mereka hanya berharap mulut dan dapur bisa tetap 'ngebul'.
Namun sayang dengan adanya rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai dari sembako hingga pendidikan, impian untuk tetap 'ngebul' rasanya semakin sulit untuk digapai. Miris!
Hampir setiap tahun cukai rokok dinaikkan oleh pemerintah untuk mendongkrak penerimaan negara. Tahun ini Cukai Hasil Tembakau (CHT) khusus untuk tipe Sigaret Kretek Mesin (SKM) naik rata-rata 12,5%. Kenaikan tersebut akan berdampak pada kenaikan harga rokok di pasaran.
Bagi masyarakat miskin rokok termasuk kebutuhan pokok yang menyumbang garis kemiskinan (GKM) dalam porsi yang cukup besar. Bahkan terbesar kedua setelah beras. Di perkotaan GKM rokok mencapai 13,5% dan di pedesaan setara dengan 11,85% GKM total menurut data BPS untuk periode September 2020.
Rata-rata kenaikan CHT dalam lima tahun terakhir mencapai lebih dari 10%. Untung saja perusahaan rokok tak serta merta menaikkan harga sehingga bapak-bapak masih bisa menghisap rokok. Terlepas dari masalah dan dampak kesehatan yang ditimbulkan rokok tetaplah kebutuhan bagi masyarakat terutama penduduk miskin.
Kenaikan harga rokok sudah pasti menggerus daya beli masyarakat kalangan menengah ke bawah. Tidak cukup CHT saja yang dinaikkan, kini PPN untuk berbagai kebutuhan pokok dan pendidikan rencananya juga ikut dinaikkan.
PPN untuk tarif umum akan dinaikkan dari 10% menjadi 12%. Sementara untuk jenis tertentu akan dipatok terendah 5% - 25%. Khusus untuk sembako yang sebelumnya dikecualikan dari PPN akan dikenakan di kisaran 1%.
Lantas apa dampak dari peningkatan PPN tersebut?
Sudah pasti kenaikan kebutuhan hidup bagi masyarakat Tanah Air. Peningkatan PPN juga memiliki konsekuensi pada peningkatan GKM. Padahal GKM mencerminkan pengeluaran minimum untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok baik untuk makanan maupun non-makanan.
Dengan asumsi semua sembako kena PPN 1%, pendidikan 5% dan sisanya 2% maka berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia akan ada peningkatan GKM sebesar 1,61% atau setara dengan Rp 7.383/kapita/bulan.
Jika menggunakan acuan GKM September 2020 di Rp 458.947/kapita/bulan, maka GKM setelah PPN ditingkatkan bakal menjadi Rp 466.331/kapita/bulan.
Asumsikan satu keluarga terdiri dari 4-5 orang maka pengeluaran yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan minimum satu keluarga bakal naik Rp 35.662/rumah tangga per bulan dari Rp 2.216.714/rumah tangga/bulan menjadi Rp 2.252.376/rumah tangga/bulan.
Indikator Nilai (Rp)
GKM No PPN/Kap/Bln 458,947
GKM No PPN/Ruta/Bln 2,216,714
GKM + PPN/Kap/Bln 466,331
GKM + PPN/Ruta/Bln 2,252,377
Dengan GKM di angka Rp 2.216.714/rumah tangga/bulan saja penduduk miskin di Tanah Air mencapai 10,19% atau setara dengan 27,55 juta jiwa. Bagaimana jika kebutuhan minimumnya naik? Tentu saja daya beli akan tergerus dan jumlah masyarakat miskin di dalam negeri akan terancam naik.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan ini. Apalagi dengan anggaran untuk bantuan sosial yang tahun ini dipangkas di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih benar.( RZ/WK )****
No comments:
Post a Comment