Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan.
Yang saya hormati para Menko, para Menteri, Wamen, Kepala Staf Kepresidenan,
Yang saya hormati para Gubernur, Bupati, Wali Kota dan seluruh Pejabat eselon I, eselon II Kementerian Pertanian, para Kepala Dinas lingkup kota/kabupaten seluruh Indonesia,
Para peserta Rakernas yang saya hormati,
Hadirin dan undangan yang berbahagia,
Dalam kondisi pandemi COVID-19, sektor pertanian menempati posisi yang semakin sentral.
Kita tahu FAO (Food and Agriculture Organization) memperingatkan potensi terjadinya krisis pangan, hati-hati mengenai ini, hati-hati.
Akibat pembatasan mobilitas warga dan bahkan distribusi barang antarnegara, distribusi pangan dunia menjadi terkendala.
Dan kita tahu beberapa minggu hari terakhir ini urusan yang berkaitan dengan tahu dan tempe, kedelai, menjadi masalah juga karena tadi yang saya sampaikan.
Kita tahu penduduk Indonesia sudah 270 juta (jiwa) lebih. Oleh sebab itu, pengelolaan yang berkaitan dengan pangan itu betul-betul harus kita seriusi.
Pembangunan pertanian betul-betul harus kita seriusi secara detail, terutama saya ingin menggarisbawahi, terutama yang berkaitan dengan komoditas pertanian yang impor.
Kedelai hati-hati, jagung hati-hati, gula hati-hati, ini yang masih (impor) jutaan-jutaan, jutaan ton.
Bawang putih, beras, meskipun ini sudah dua tahun kita hampir dua tahun kita enggak impor beras. Ini saya mau lihat betul lapangannya, kondisinya seperti apa, apakah konsisten bisa kita lakukan untuk tahun-tahun mendatang.
Tetapi yang tadi saya sampaikan barang-barang ini harus diselesaikan, urusan bawang putih, urusan gula, urusan jagung, urusan kedelai, dan komoditas yang lain yang masih impor, tolong ini menjadi catatan dan segera dicarikan desain yang baik agar bisa kita selesaikan.
Menurut saya tidak bisa kita melakukan hal-hal yang konvensional, yang rutinitas, monoton seperti yang kita lakukan bertahun-tahun.
Kita harus membangun sebuah kawasan yang economic scale, enggak bisa kecil-kecil lagi.
Oleh sebab itu, kenapa saya dorong food estate ini harus diselesaikan, paling tidak tahun ini yang di Sumatra Utara, yang di Kalimantan Tengah itu selesaikan.
Kita mau evaluasi problemnya apa, masalah lapangannya apa, teknologinya yang kurang apa, dan juga dengan cara-cara teknologi, bukan cara-cara konvensional di food estate ini.
Karena ini akan menjadi contoh, nanti kalau ini benar bisa dijadikan contoh semua provinsi sudah datang kopi saja, tapi memang dalam sebuah skala yang luas (economic scale).
Sehingga percuma kita bisa berproduksi tapi sedikit, enggak akan ngaruh apa-apa terhadap yang impor-impor tadi.
Karena problem dari dulu sampai sekarang, kenapa, pertama, kedelai yang juga di Indonesia ini bisa tumbuh baik, kenapa petani kita tidak mau tanam? Karena harganya kalah dengan yang kedelai impor.
Kalau petani suruh menjual dengan harga yang impor, ini harga pokok produksinya enggak nutup, sehingga harus dalam jumlah yang besar agar harganya bisa melawan yang harga impor.
Bawang putih, kenapa dulu kita produksi bawang putih banyak dan sekarang petani enggak mau tanam bawang putih? Karena harganya kalah dengan harga bawang putih impor.
Wonosobo dulu bawang putihnya banyak, di NTB bawang putihnya banyak, kenapa enggak bisa diperluas dalam jumlah yang besar sehingga bisa melawan harga impor, ada competitive price-nya. Kalau harga tidak kompetitif ya akan sulit kita bersaing.
Sehingga sekali lagi, ini harus dibangun dalam sebuah lahan yang sangat luas, lahan kita masih, cari lahan yang cocok untuk kedelai, tapi jangan hanya 1 hektare, 2 hektare,10 hektare. 100.000 hektare, 300.000 hektare, 500.000 hektare, 1 juta hektare, cari.
Urusan jagung, cari lahan-lahan yang masih bisa untuk ditanam jagung dalam skala lahan yang luas. Ini yang akan menyelesaikan masalah, kalau kita hanya rutinitas, urusan pupuk, urusan bibit itu penting saya tahu, tapi kalau bisa menyiapkan lahan dalam jumlah yang besar, itu yang akan menyelesaikan masalah.
Pupuk, saya jadi ingat pupuk, berapa puluh tahun kita subsidi pupuk? Setahun berapa subsidi pupuk? Rp30-an triliun, berapa Bu Menteri Keuangan? 33 seingat saya, Rp33 triliun setiap tahun, return-nya apa? Kita beri pupuk itu kembaliannya ke kita apa? Apakah produksi melompat naik? Rp33 triliun, saya tanya kembaliannya apa? Lima tahun berapa triliun berarti? Sepuluh tahun sudah berapa triliun? Kalau sepuluh tahun sudah Rp330 triliun, Bapak-Ibu dan Saudara-saudara lihat, angka itu besar sekali. Artinya, tolong ini dievaluasi, ini ada yang salah, sudah berkali-kali meminta ini.
Itulah cara-cara pembangunan pertanian kita yang harus kita tuju, skala luas (economic scale), teknologi dipakai betul, teknologi pertanian, sehingga harga pokok produksinya nanti bisa bersaing dengan harga-harga komoditas yang sama dari negara-negara lain.
Ini baru yang namanya benar, kalau tiap tahun kita mengeluarkan subsidi pupuk sebesar itu, kemudian tidak ada lompatan di sisi produksinya, ada yang salah, ada enggak benar di situ.
Saya sangat menghargai ini ada sebuah pertumbuhan yang baik di sektor pertanian, terutama ekspornya, tetapi juga ingat ekspor kelihatan tinggi itu berasal dari, yang banyak, berasal dari sawit.
Betul Pak Menko? Hati-hati, bukan dari (yang) tadi, bukan dari komoditas-komoditas lain yang sudah kita suntik dengan subsidi-subsidi yang ada.
Saya rasa itu mungkin yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Saya minta betul-betul di lapangannya diikuti sehingga nantinya apabila di dua provinsi ini (Sumatra Utara dan Kalimantan Tengah) lumbung pangan yang kita bangun, food estate yang kita bangun betul, benar, provinsi-provinsi yang lain akan kita dorong, kita berikan dana dari APBN, tetapi betul-betul ada return ekonomi yang diberikan pada negara.
Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim pagi hari ini saya resmikan pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2021. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (RZ/WK )***
No comments:
Post a Comment