INDENPRES MEDIA ISTANA

Monday, 25 January 2021

Dari Lahan Pemakaman yang Gelap, Bangkitlah Vampir-Vampir Anggaran!.

INDENPERS MEDIA ISTANA, JAKARTA----Manipulasi pembelian lahan pemakaman? Waduh.

Wagub Jakarta, Ahmad Riza Patria, akhirnya angkat bicara. Lantaran Gubernur Anies bungkam seribu bahasa perkara lahan pemakaman di DKI Jakarta yang sedang disorot oleh Justin Adrian Untayana, anggota Komisi D dari fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta.

Selaras dengan kebiasaan atasannya, komentar Wagub Riza Patria pun tak jauh beda: mengalihkan isu dan dengan logika bengkoknya mengatakan bahwa krisis lahan pemakaman itu bukan cuma terjadi di Jakarta. Lha? Apa relevansinya? Sesat logika, red-herring.

Bukannya belum lama berselang dengan gagah Anies Baswedan mendeklarasikan bahwa pemda DKI Jakarta telah membeli lahan baru untuk keperluan pemakaman. Apalagi terkait pandemi Covid-19 ini katanya bakal terjadi lonjakan kebutuhan lahan pemakaman.

Namun, seperti biasa, soal pembelian lahan pemakaman ini pun gelap dan sangat tidak transparan prosesnya. Justin Adrian Untayana (PSI) sudah beberapa kali angkat bicara di parlemen dan akhirnya isu ini pun mencuat ke publik.

Lantaran seperti biasa, mesti dicuatkan ke publik dulu supaya dapat perhatian. Karena kalau hanya jadi wacana internal parlemen, maka akan seperti berteriak di ruang hampa udara. PSI boleh saja berteriak-teriak sampai serak suaranya, namun itu pun bakal sia-sia belaka. 

Kok kayaknya semua fraksi lain seperti yang sudah “dibeli”dan dicengkeram oleh suatu daya kooptasi yang besar, entah itu dari eksekutifnya dan atau dari kekuatan gurita para sponsor (bohirnya). 

Saling bekelindannya kepentingan yang kolutif, dimana banyak partai butuh dana politik, sementara eksekutifnya pun butuh pengamanan posisi kekuasaan. Transaksi politik pun terjadi. Walahuallam.

Fraksi-fraksi besar di parlemen Jakarta – dengan 106 kursi – seperti lumpuh di hadapan seorang Anies Baswedan. Seperti kita ketahui, yang terbesar tentu saja masih PDIP dengan 25 kursi, sehingga kursi Ketua DPRD DKI Jakarta pun ada dalam kekuasaan PDIP, saat ini ketuanya adalah Prasetyo Edi Marsudi. 

Baru disusul Gerindra dengan 19 kursi, lalu PKS 16 kursi, Demokrat 10 kursi, PAN 9 kursi, PSI 8 kursi, Nasdem 7 kursi, Golkar 6 kursi, PKB 5 kursi, dan PPP 1 kursi.

Pertanyaannya ada apa dengan parpol-perpol besar koalisi Jokowi yang ada di parlemen DKI Jakarta? Mengapa lumpuh di hadapan seorang Anies Baswedan? Sudah terkooptasikah? Sudah terjerat dalam jejaring gurita para bohir politikkah?

Mengapa sampai sekarang hanya fraksi PSI yang nyata terus-menerus mengritisi kebijakan Gubernur, sedangkan fraksi lain bungkam seribu bahasa. 

Bahkan saat isu tunjangan jumbo yang baru lalu itu malah terkesan ikut dalam gerombolan perompak anggaran rakyat, mengapa? Walk-out ngawur ala Jamaludin (fraksi Golkar) pun diikuti oleh semua fraksi lain, dan lagi-lagi PSI ditinggal sendirian.

Padahal dalam pidato politiknya belum lama ini Bu Megawati Soekarnoputri (Ketum PDIP) juga sudah ikut menyindir kepemimpinan Anies yang katanya telah membuat Jakarta jadi amburadul.

Namun sindiran Megawati ini pun seperti berlalu begitu saja. Fraksinya di parlemen Jakarta juga tetap impoten, tak mampu (atau memang tak mau) bertindak dengan langkah-langkah politik yang cukup signifikan untuk menginterpelasi Gubernur seperti yang pernah diinisiasi oleh fraksi PSI.

Soal pengelolaan anggaran yang sama sekali gelap alias tidak transparan pun semua bungkam. Program smart-budgeting yang dulu pernah digembar-gemborkan oleh Anies pun tak pernah ditanyakan progresnya oleh fraksi-fraksi besar di parlemen Jakarta. 

Seakrang isu uang muka Formula-E kembali mencuat, menyusul dana bansos yang tak jelas juntrungannya. Bahkan Anies kabarnya sudah lempar handuk untuk soal penanganan pandemi Covid-19 di ibu kota, tanpa pertanggungjawaban yang jelas tentang dana trilyunan yang telah digelontorkan untuk penanganan Covid-19. 

Sampai-sampai membuat dokter Tirta ngamuk-ngamuk, namun -seperti biasa – itupun dianggap angin lalu oleh Anies. Dengan cara, bungkam seribu bahasa. Semua memang dibiarkan gelap gulita.

Apakah kegelapan ini memang sengaja dibiarkan. Lantaran kegelapan adalah memang habitatnya para vampir penghisap darah. 

Sehingga kita pun jadi bertanya-tanya, apakah para anggota parlemen di Jakarta juga sudah bermetamorfosa menjadi sesama vampir setelah membiarkan dirinya “digigit” oleh eksekutifnya yang lebih dulu jadi biang vampir?

Dari lahan pemakaman yang tidak jelas alias gelap, telah bangkit vampir-vampir anggaran yang saling berebutan menghisap darah rakyat.

Sampai kapan kegelapan ini akan dibiarkan?

Penulis : Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).(Rz/WK )***

No comments:

Post a Comment