INDENPRS MEDIA ISTANA,Jakarta,---------------Kegiatan G20 mulai dari tingkat tinggi sampai pada tata laksana akan berlangsung di Indonesia mulai 1 Desember 2021 sampai dengan 30 November 2022. Untuk itu, maka posisi Presidensi G20 yang kini diemban Perdana Menteri Italia akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober ini.
“Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia akan mengemban posisi Presidensi G20 selama setahun penuh. Posisi sebagai Presidensi G20 ini cukup strategis dikarenakan realitas strategis dari negara – negara yang tergabung dalam G20 yang antara lain menguasai 80% PDB dunia, 80% investasi global, 75% perdagangan dunia dan 66% populasi dunia,” buka Juru Bicara The Collateral House Amir Hamzah, Jumat (16/10/2021).
Secara global, lanjut Amir, adalah menjadi harapan masyarakat bahwa kegiatan G20 sepanjang satu tahun ke depan dapat menghasilkan solusi yang signifikan untuk memperbaiki kondisi – kondisi kritis. Kondisi tersebut berupa instabilitas pertumbuhan ekonomi, kepincangan neraca perdagangan maupun merosotnya cadangan devisa di banyak negara serta berbagai tantangan dan ancaman baru yang sedang terjadi di beberapa belahan dunia berkaitan dengan terjadi proses perubahan iklim.
“Harapan seperti itulah yang menimbulkan tanda tanya apa sih keunggulan Indonesia sehingga diberi kesempatan sebagai Presidensi G20 yang akan memimpin berbagai kegiatan persidangan baik yang menyangkut finance track maupun sherpa track. Untuk itu ada beberapa berita yang muncul menjelang diterimanya posisi Presidensi G20 oleh Indonesia yang patut mendapat perhatian publik. Ada berita yang sangat menggelitik, untuk memperkuat APBN 2022 pemerintah akan mencari utangan sebesar Rp505 trilyun untuk membayar bunga utang lama,” kata Amir.
Sementara itu lembaga riset Aiddata mempublikasikan temuannya bahwa utang tersembunyi Indonesia dari Cina selama periode 2000 – 2017 sudah mencapai US$ 34, 38 milyar atau setara dengan Rp488,9 Trilyun yang berarti sama dengan 18% dari total belanja APBN 2021 sebesar Rp2.57 Trilyun.
Kedua berita itu, masih kata Amir, tentu mengundang rasa kecewa. Namun rasa kecewa tersebut bisa “terobati” dengan pujian dan sanjungan Prof Kishore Mahbubani yang memberi gelar ‘genius’ kepada Presiden Jokowi. Pujian tersebut diikuti pula dengan penghargaan yang diikuti Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Institut of International Finance (IIF).
“Institut sebut rupanya berpendapat bahwa mencari utang baru untuk membayar utang lama dapat dipandang sebagai indikator stabilitas ekonomi sebuah negara. Lalu, di saat ini pertanyaan di atas belum terjawab, masyarakat dunia khususnya Indonesia, dikagetkan pula dengan adanya publikasi Pandora Papers dan Paradise Papers sebagai kelanjutan dari bocornya dokumen Panama Papers,” sebut Amir.
Apapun yang akan dihasilkan sebagai solusi dari pertemuan G20 nanti, kata Amir, namun dengan menjadikan utang baru untuk membayar utang lama sebagai budaya dan ditambah pula dengan sikap penguasa dan pengusaha (pen-peng) maka tidak mustahil akan timbul asumsi bahwa kondisi perekonomian Indonesia di tahun depan masih akan dilanda kerapuhan. Dan kerapuhan ekonomi ini, akan menimbulkan dampak yang tidak kondusif terhadap penyelenggaraan kedaulatan negara.
Di samping itu perlu juga diketahui, masih menurut Amir, kerapuhan ekonomi memang bukan saja sedang melanda Indonesia tapi juga sudah melanda negara – negara G20 lainnya seperti AS dan Cina. Termasuk beberapa negara lainnya di kawasan Eropa dan AS.
Amir menambahkan, salah satu alternatif yang sedang diupayakan jalan keluarnya oleh beberapa negara G20 dari Amerika dan Eropa termasuk Rusia adalah bagaimana caranya mereka dapat memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan dana GCA baik melalui rekening 103357777 milik IHW termasuk kode rekening dengan referensi White Spiritual Boy dan Spiritual Wonder Boy.(RZ/WK)*****
No comments:
Post a Comment