Jakarta, ( INDENPERS-MEDIA ISTANA )-----Kalangan pengrajin tahu dan tempe melakukan aksi mogok produksi dan berjualan selama tiga hari, yakni sejak tanggal 1-3 Januari. Aksi itu bukan tidak mungkin bakal berlanjut jika permintaannya tidak mendapat persetujuan dari pemerintah, yakni menaikkan harga tahu dan tempe di pasaran.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia Aip Syarifuddin mengatakan pihaknya mau tidak mau harus mengambil keputusan itu karena harga kedelai yang naik secara tidak wajar. Saat ini harga kedelai sampai Rp. 9.200 bahkan 10.000/Kg, bahkan ada yang lebih dari 10ribu/Kg. Padahal, harga normalnya di angka Rp. 6.500 - 7.000/Kg.
"Sepotong tempe harganya Rp 2.000 - 3.000/250 gram, artinya sekitar Rp. 12 - 15 ribu/Kg. Sekarang dengan harga kedelai Rp. 9.500/Kg, tempe dibikin 4 hari jadi, cost of production aja sudah Rp. 17-18 ribu, perlu direbus, perlu dibungkus, dikasih ragi, belum upah kerja, pegawai, sehingga 1 kilo penjualan rugi Rp. 2-3 ribu. Kalau 50 Kg sudah 100 ribu," sebutnya.
Dengan kondisi yang tidak menutupi modal awal atau tidak mencapai break even point (BEP), maka sulit untuk pengrajin tempe agar bisa bertahan. Karena itu, Ia meminta pengertian masyarakat dan pemerintah agar bisa menaikkan harganya. Jika tidak, bukan tidak mungkin pengrajin tahu dan kedelai akan kembali mogok produksi massal, kelangkaan tahu dan tempe pun bisa kembali terulang.
"Kalau harganya ngga disetujui naik, atau masyarakat ngga terima naik bisa (mogok produksi massal). Tapi pandangan saya mereka wajar sih naik 10-20%," sebutnya.
Langkah tersebut dinilai menjadi solusi, Aip mengungkapkan akan kesulitan jika harus merubah bentuk ukurannya menjadi lebih kecil atau lebih tipis. Itu bukan langkah tepat karena masyarakat sudah terbiasa dengan ukuran normalnya.
"Kalau pengrajin minta naik harga wajar, telur, daging kan semua naik. Kondisi ini mau naik harga susah, ngga naik ngga bisa, ngga produksi ngga makan," jelasnya. (RZ/WK )***
No comments:
Post a Comment