INDENPERS MEDIA ISTANA, JAKARTA,---------Menko Polhukam Mahfud Md turut berbicara mengenai polemik dugaan keterlibatan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam bisnis tes PCR. Menurut Mahfud, pengadaan tes PCR sejatinya muncul saat Indonesia sedang panik menangani virus Corona (COVID-19).
Hal itu diungkapkan Mahfud saat menjadi keynote speaker pada webinar yang bertajuk 'Menguji Konsistensi Kebijakan Penanganan Pandemi COVID-19 terhadap UUD 1945' seperti dikutip Minggu (14/11/2021). Mulanya, Mahfud menyebut kontroversi penanganan COVID-19 di Indonesia muncul sejak pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang dituding menggarong uang negara.
"Menurut hukum keuangan, pemerintah bisa dianggap melanggar UU jika belanja APBN mengalami defisit anggaran lebih dari tiga persen dari PDB. Nah, waktu itu untuk menanggulangi COVID-19 diperkirakan akan terjadi defisit lebih dari tiga persen, sehingga untuk melakukan tindakan cepat, pemerintah membuat perppu," kata Mahfud.
Dalam perjalanannya, DPR kemudian menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Mahfud menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) juga memperkuat frasa di Pasal 27 ayat (2) ke Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3).
"Ternyata DPR menyetujui perppu tersebut menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, dan setelah diuji UU tersebut dibenarkan oleh MK. Malah, MK memperkuat frasa yang ada di Pasal 27 ayat (2) bahwa pejabat dianggap tidak melanggar hukum jika menggunakan anggaran dengan besaran apa pun 'selama dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan', oleh MK, frasa tersebut dikuatkan ke Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) sebagai 'conditionally constitutional'," katanya.
Pada 2020, Mahfud menyebut Presiden Joko Widodo mengajak peran serta masyarakat untuk ikut menanggulangi COVID-19. Sebab, kata Mahfud, saat itu masyarakat panik terkena teror COVID-19 sampai-sampai alat kesehatan menjadi langka.
"Pemerintah berebutan dengan negara-negara besar yang juga panik, untuk membeli APD dan obat-obatan. Kontroversi antar-dokter, antar-ahli agama, antar-sosiolog juga semakin membuat masyarakat panik," ujarnya.
Menurut Mahfud, seruan Presiden Jokowi kepada masyarakat itu ditanggapi cepat. Hal tersebut dibuktikan, kata Mahfud, dengan munculnya penelitian membuat vaksin, obat hingga alat pelindung diri (APD).
"Atas seruan presiden itu, muncullah kegiatan industri masker di berbagai daerah, muncul obat-obatan tradisional seperti minuman pokak dari Jawa Timur, ramuan telur-jahe, obat sedot antivirus, dan sebagainya," lanjutnya.
Kemudian berkembang penelitian kreatif lainnya dari berbagai kampus di Indonesia. Dari UGM, kata Mahfud, mereka melahirkan tes GeNose untuk mendeteksi ada tidaknya virus Corona yang masuk ke tubuh manusia.
"Bermunculan pula hasil penelitian kreatif dari berbagai kampus. Dari UGM, misalnya, lahir GeNose, dan dari Universitas Airlangga (Unair) lahir lima racikan obat untuk mengobati COVID-19 sesuai dengan tingkat komplikasinya," ungkapnya.
Dari situlah, kata Mahfud, Luhut dan Erick Thohir ikut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (SGI) untuk merespons seruan dari DPR. Mahfud menyebut pengadaan PCR yang didistribusikan oleh yayasan tersebut ada yang berbayar dan ada yang gratis.
"Semula LBP, Erick Thohir dan kawan-kawan membentuk sebuah yayasan untuk membantu masyarakat dalam pengadaan obat dan alat tes COVID. Yayasan tersebut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang, antara lain, melakukan pengadaan PCR yang distribusinya ada yang berbayar dan ada yang digratiskan," katanya.
Mahfud mengaku dalam hal ini tidak bermaksud untuk membela Luhut dan Erick Thohir.(RZ/WK)*****
No comments:
Post a Comment