INDENPERS MEDIA ISTANA, Denpasar,--------Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai beberapa objek pajak baru. Di antaranya adalah pajak karbon dan fasilitas natura atau kenikmatan hingga objek pertambangan.
Penambahan objek baru yang akan ditarik pajaknya ini tertuang dalam UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Untuk fasilitas natura atau kenikmatan, yang selama ini didapatkan pegawai seperti rumah, mobil hingga laptop tidak dihitung sebagai penghasilan, sehingga tak dilaporkan dalam SPT dan tidak dipotong pajak.
Namun, dalam UU pajak baru ini akan diubah. Fasilitas kenikmatan yang diterima pegawai akan dihitung sebagai penghasilan dan dipotong pajak.
"Selama ini bagian yang tidak dibayar dalam bentuk uang disebut dengan aturan natura, yang pemajakannya bagi yang menerima bukan objek penghasilan. Jadi sekarang, itu dijadikan penghasilan," ujar Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, Kamis (4/11/021).
Begitu juga dengan pajak karbon yang ditetapkan sebesar Rp 30 per CO2e. Padahal sebelumnya, karbon tidak masuk dalam barang kena pajak.
Hal ini memunculkan pertanyaan kenapa makin banyak barang dan jasa yang dipajaki oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yon pun membantah bahwa pemajakan dilakukan tanpa pandang bulu dan perhitungan.
Menurutnya, kebijakan pemajakan yang dilakukan oleh pemerintah mempertimbangkan keadaan masyarakat terutama yang kelompok kecil. Sehingga pemajakan tidak dilakukan merata ke semua kelompok masyarakat.
Ia mencontohkan, seperti fasilitas natura atau kenikmatan hanya diberikan kepada pegawai dengan nilai fasilitas besar. Sehingga masyarakat kecil tidak akan dipajaki.
"Makanya kan kita kasi batasan tertentu kan. Tidak semua kan dipajaki, sepanjang dinikmati oleh seluruh karyawan, di daerah terpencil, kebutuhan kerja tidak jadi masalah. Jadi akan ada batasan-batasan tertentu yang nanti kita akan atur. Jadi kita nanti akan atur jenis dan batasan nilainya," tegasnya.(RZ/WK)******
No comments:
Post a Comment