INDENPERS MEDIA ISTANA, JAKARTA ----------Utang menggunung raksasa tekstil Sritex menjadi gambaran industri tekstil tengah menghadapi kondisi sulit. Salah satu penyebab goyahnya banyak pabrikan tekstil karena derasnya produk impor yang masuk ke pasar domestik.
Kalangan pelaku usaha mengungkapkan bahwa sebagian besar barang impor yang beredar di pasar grosir maupun online, terjadi transaksi penjualan tanpa pembayaran PPN sehingga produk dalam negeri kalah saing karena praktik unfair.
"Bagaimana bisa kami menaikkan harga jual kalau banyak barang impor yang jual tanpa PPN," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ian Syarif, Kamis (2/6).
Ian berharap agar pengawasan terhadap barang impor juga diperketat agar tercipta level persaingan yang sama di pasar domestik. Jika tidak, industri dan garmen tekstil utamanya dari tingkatan kecil bakal ikut terdampak.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta juga mewanti-wanti garmen dalam menghadapi masa kuartal II ini.
"Kami sangat mengkhawatirkan kinerja sektor ini di kuartal 2 dan seterusnya, terlebih ada tekanan dari sisi biaya yaitu kenaikan bahan baku, kenaikan tarif listrik dan kenaikan PPN," katanya.
Berbagai biaya operasional yang tengah dihadapi memang menyulitkan pabrikan untuk mendapatkan laba. Bahkan sekelas Sritex saja harus mencatatkan kerugian tidak sedikit.
Sritex melaporkan rugi bersih hingga US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$) sepanjang tahun 2021 lalu.
Angka kerugian tersebut membengkak dari semula masih mencatatkan keuntungan US$ 85,32 juta (Rp 1,24 triliun) pada tahun 2020.
Rugi fantastis tersebut salah satunya didorong oleh pendapatan perusahaan yang tercatat turun menjadi US$ 847,52 juta, dari semula sejumlah US$ 1,28 miliar.(RZ/WK)****
No comments:
Post a Comment