Saturday, 7 January 2017
Kontraversi Masalah Kenaikan Biaya.
Ketua Presidium Indonesia Watch (IPW), Neta S Pane meminta membatalkan kenaikan biaya pengurusan surat ijin mengemudi (SIM) dan dokumen kendaraan bermotor karena memberatkan masyarakat dan tak jelas alasannya.Hal ini yang dipertanyakan Neta adalah pernahkah DPR melakukan evaluasi sehingga didapat gambaran pelayanan publik yang mana yang harus diperbaiki.
Neta juga menyatakan, perbaikan pelayanan tidak bisa dijadikan alasan kenaikan biaya pengurusan SIM dan dokumen kendaraan. Menurut Neta, perbaikan pelayanan tidak perlu dibebankan kepada masyarakat.
DPR tidak seharusnya mendorong Polisi menaikkan biaya pengurusan SIM, STNK dan BPKB. Menurut Neta,semestinya mendorong revisi Undang-Undang lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( LLAJ ), agar pengurusan SIM, STNK dan BPKB tak dilakukan oleh institusi di luar Polri.
Dikatakan oleh Neta, apakah realistis perbaikan pelayanan publik ditimpakan ke kenaikan biaya pengurusan SIM, STNK, dan BPKB.
Neta menunjuk praktik percaloan di bidang pegurusan SIM maupun dokumen kendaraan yakni surat tanda nomor kendaraan ( STNK), yang bertahun-tahun jadi masalah dan tidak pernah selesai secara utuh.
Untuk memberantas calo saja, dari kapolri yang satu ke kapolri yang lain, tidak mampu melakukannya secara tuntas.
Hal lain yang perlu didorong DPR adalah perubahan masa berlaku SIM, STNK, BPKB, dan tanda nomor kendaraan bermotor ( TNKB ) dari lima tahun menjadi seumur hidup, kecuali dokumen itu hilang atau rusak. Sehingga,tak ada ekonomi biaya tinggi memberatkan publik. Menurut Neta, di beberapa negara, SIM dan dokumen kendaraan berlaku seumur hidup.
Neta juga mengatakan, jika Polri masih menangani pengurusan SIM, BPKB, dan STNK, berarti Polri melakukan monopoli sistem, yakni Polri yang membuat kebijakan, Polri memproses pembuatan produknya, dan Polri juga yang melakukan penindakan. Ini jelas bertentangan dengan Undang- Undang Anti monopoli.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance ( Indef ), Naillul Huda menyesalkan terbitnya PP No.60 tahun 2016. Menurut Huda harusnya kenaikan tarif dilakukan tanpa perlu jadi kejutan.
Huda menjelaskan harus ada evaluasi ulang mengenai regulasi tersebut. Pemerintah harus bijak dan tidak langsung pukul tinggi dalam menaikkan tarif.
Seharusnya kenaikan itu, dilakukan secara bertahap. Tidak langsung sampai 275 persen.
Dijelaskan pula oleh Huda, dari 275 persen itu bisa dibagi 50 persen dulu, baru meningkat 100 persen terus 150 persen, harusnya seperti itu. Pemerintah seharusnya tentang kenaikan tersebut dilakukan bertahap agar tidak menimbulkan efek kejut terhadap masyarakat. (****)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment