Thursday, 13 February 2014
TAHUN POLITIK 2014 PENCITRAAN GAS ELPIJI
Pada tahun 2014 adalah tahun politik. Pada April dan Juli 2014 mendatang ada hajatan besar yakni Pemilu Legislatif ( Peleg ) dan pemilihan presiden ( pilpres). Semua partai politik dan bakal calon presiden mulai memanaskan mesin. Segala isu akan diolah dengan target popularitas partai. Caleg atau bakal capres bias naik.
Sayangnya, para politisi kelewat agresif “ menggoreng “ isu harga elpiji ini sehingga terkesan apapun kebijakan pemerintah harus dicurigai. Akibatnya ketika Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat terbatas bersama kementerian dan pihak-pihak terkait soal elpiji, para politisi itu justru menyerang bahwa ini adalah skenario politik SBY untuk meningkatkan popularitas.
Tak terkecuali isu kenaikan harga gas elpiji 12 Kg baru-baru ini. Begitu Pertamina menaikkan harga elpiji, semua partai politik bersuara lantang. Umumnya mereka mengecam kebijakan Pertamina menaikkan harga elpiji. Tidak salah memang. Apalagi ada kesan tidak ada koordinasi antara Pertamina dan pemerintah soal kenaikkan harga elpiji.
Pertamina memang perusahaan milik pemerintah, namun BUMN ini juga dibebani untuk menghasilkan laba. Ketika BUMN meraih laba maka labanya juga disetorkan ke pemerintah. Kalau pemerintah mempunyai banyak uang maka, dengan asumsi uang itu tidak dikorupsi, masyarakat juga akan menikmatinya. Jadi sebenarnya, Pertamina juga tidak ingin mengecawakan pemerintah dan masyarakat dengan menjadi perusahaan merugi. Mereka ingin menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Tidak ada yang tahu pasti benarkah ada agenda pencitraan oleh pemerintah dalam hal ini Presiden SBY, dalam kasus elpiji. Namun kalau ditelusuri, masalah elpiji ini sebenarnya murni urusan ekonomi. Ada perhitungan –perhitungan matematis sehingga Pertamina akhirnya menaikkan harga elpiji. Sumbernya pun jelas yakni hasil audit Badan pemeriksa Keuangan ( BPK ). Lembaga ini menilai Pertamina merugi dalam bisnis elpiji sekitar Rp 7 triliun karena menjual elpiji nonsubsidi 12 Kg terlalu murah.
Di sisi lain, pemerintah juga harus menghitung dampak ekonomi dan sosial setiap kebijakan yang ditempuh perusahaan-perusahaan BUMN. Dari sinilah Presiden SBY kemudian memutuskan untuk turun tangan dengan memerintahkan Pertamina meninjau ulang harga elpiji. Lalu kenapa SBY tetap saja diserang ?
Dalam isu elpiji, sah-sah saja para politisi menuding SBY melakukan pencitraan asal mereka mengungkapkan bukti-bukti dan syukur-syukur bias memberikan solusi alternative soal elpiji. Kalau para politisi itu ternyata hanya mencari sensasi, public akan menjauhi. Publik kini mulai cerdas. Mereka akan menilai mana kebijakan yang memang seharusnya ditempuh dan mana kebijakan-kebijakan yang diambil hanya meraih popularitas. Lebih praktisnya, masyarakat tidak peduli apakah kebijakan itu mengandung unsur pencitraan atau tidak, yang pentingnya semua persoalan mereka teratasi.
Terlepas benar tidaknya tudingan pencitraan itu, pemerintah harus menyadari bahwa tahun ini adalah tahun politik. Semua parpol, caleg dan bakal capres juga akan melakukan pencitraan demi meraih kesuksesan dalam pemilu mendatang. Pencitraan ini tidak sesuai fakta atau malah menjurus ke kampanye hitam dan fitnah.
SBY dituding ingin tampil sebagai pahlawan ketika dia memerintahkan Pertamina agar meninjau ulang kenaikkan harga elpiji. Pertamina pada akhirnya memutuskan harga elpiji 12 Kg ditinjau ulang. Harga elpiji 12 Kg turun Rp 117.708 menjadi Rp 82.200 per tabung. (****).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment