Monday, 10 February 2014
MENGKRIMINALISASIKAN SI PENJAHAT PENYEBAR VIRUS HIV Oleh : dr Mada G.Soebowo (Kabid P2P Dinkes Kota Semarang)
Sudah banyak fakta yang menunjukkan bahwa sains merupakan pedang dengan dua mata yang sama tajamnya. Manfaat dan masalah bisa timbul dari penggunaannya, tergantung di tangan siapa pedang itu berada.
Salah satu contohnya adalah penggunaan pengetahuan tentang mikroba/virus berbahaya yang dimanfaatkan sebagai alat pembunuh massal yang kemudian disebut senjata biologi atau biological weapon.
Sejarah ,sebagaimana dikutip dari Wikimedia, menyebutkan penggunaan organisme patogen dan toksin berbahaya yang dihasilkan organisme tertentu sebagai senjata mematikan itu sudah dilakukan umat manusia sejak 2.400 tahun yang lalu.
Saat itu, bangsa Scythians yang diperkirakan tinggal di kawasan Iran saat ini menggunakan panah yang dicelupkan ke dalam feses (kotoran) dan mayat makhluk hidup yang telah membusuk.
Hal serupa juga dilakukan oleh bangsa Roma yang mencelupkan pedangnya ke dalam pupuk dan sisa hewan yang telah membusuk. Akibatnya, musuh yang terluka oleh senjata tersebut akan mengalami infeksi yang dapat menyebabkan kematian.
Peristiwa penting dalam sejarah kuno penggunaan senjata biologi terjadi ketika bangsa Mongol mengusir bangsa Genoa dari kota Kaffa di Laut Mati dengan memanfaatkan mayat-mayat manusia yang terinfeksi wabah pes.
Ketika bangsa Genoa menyingkir hingga ke Venice, mereka tetap diikuti oleh kutu dan tikus yang terinfeksi pes sehingga akhirnya menimbulkan ‘kematian hitam’ (black death) di wilayah Eropa.
Sejarah juga mencatat saat tahun 1500 SM, bangsa Hittites dan Bangsa Armies di Asia Kecil menggunakan korban yang terjangkit penyakit untuk meracuni dan menyebarkan wabah ke musuh-musuh mereka.
Lalu pada tahun 1754-1760, bangsa Britania Utara memberikan pakaian dan selimut bekas penderita cacar pada orang-orang Indian untuk memusnahkan bangsa tersebut.
Fakta lainnya, pada Perang Dunia I, Jerman menggunakan dua bakteri patogen, yaitu Burkholderia mallei penyebab Glanders dan Bacillus anthracis penyebab Antrax untuk menginfeksi ternak dan kuda tentara Sekutu.
Pada tahun 1932-1935, Jepang mengembangkan program pembuatan senjata biologi yang dinamakan Unit 731. Sebanyak 3.000 ilmuwan Jepang bekerja untuk melakukan penelitian terhadap berbagai agen biologi yang berpotensi sebagai senjata, misalnya kolera, pes, dan penyakit seksual yang menular. Eksperimen yang dilakukan pada tahanan Cina mengakibatkan ± 10.000 tahanan mati pada masa itu.
Sejak saat itu, tidak hanya Jepang yang mengembangkan senjata biologi, namun juga diikuti oleh negara-negara lain seperi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hasilnya senjata biologi tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman.
Menyadari bahayanya, 100 negara berkumpul di Geneva dan sepakat melarang produksi dan penyimpanan senjata biologis yang dituangkan dalam pakta Konvensi Anti Senjata Biologi pada 1972.
Senjata biologi yang sudah terlanjur ada segera dilucuti dan dimusnahkan demi menghindari efek yang dihasilkan, yakni dapat membunuh jutaan manusia serta mampu menghancurkan sektor ekonomi dan sosial masyarakat.
Saat ini, senjata biologis kembali marak penggunaannya. Bukan oleh negara tertentu untuk menghancurkan bangsa lain, namun oleh individu tertentu pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mikrobiologi berbahaya yang dipakai adalah Human immunodeficiency virus (HIV) yang bisa menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Pelakunya adalah orang-orang yang menyadari bahwa dirinya sudah mengetahui mengidap virus tersebut namun sengaja menghindari pemeriksaan dan perawatan. Yang lebih jahat lagi, mereka malah menularkan virus itu pada orang lain dengan melakukan aktifitas seksual tanpa memakai pelindung.
Saat ini penyebaran HIV pada wanita tuna susila yang ada di berbagai lokalisasi lebih mudah diawasi dan diminimalisir. Yang sulit adalah ‘menangkap’ kaum pria yang justru menjadi agen utama penularan virus mematikan tersebut,karena selama ini mereka selalu berlindung dibalik perlindungan HAM.
Pria yang beresiko lantaran melakukan seks bebas atau pengguna narkoba suntik itu bebas bergerak kemana-mana tanpa bisa dideteksi. Akibatnya virus itu ditularkan pada semua pasangan seksualnya termasuk istrinya. Dan jika kemudian sang istri hamil, maka janin yang ada di kandungannya juga berpotensi tertular jika tak diketahui dan ditangani lebih dini.
Efeknya begitu luar biasa. Bukan hanya menyebarkan infeksi dan kematian pada banyak orang, lelaki ini juga menyebabkan masalah sosial bagi anggota keluarganya. Bukan hanya padanya, tapi juga keluarga intinya. Bahkan orang-orang yang punya hubungan kekerabatan dengannya pun ikut menanggung malu jika masyarakat tahu ia berstatus Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Data yang ada di Subdin Bidang Pemberantasan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang menunjukkan sepanjang 2013 lalu ditemukan 430 kasus HIV baru dan 75 kasus AIDS.
Dari jumlah itu 18% diantaranya menjangkiti ibu rumah tangga dan 5,5% lainnya diketahui diidap bayi dan anak-anak. Ini berarti penularan dari suami pada anggota keluarga inti (ibu dan anak) mencapai 18,82 %. secara nasional propinsi jawa tengah menempati posisi ke 6
Sayangnya, potensi bahaya yang demikian besar seakan dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita. Budaya paternalistic masyarakat yang menempatkan pria berposisi lebih tinggi daripada perempuan membuatnya ‘lebih terlindungi’ dari stigma buruk. Sudah saatnya di era kesetaraan gender ini kaum wanita yg ada di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,PKK,Darma Wanita,atau siapapun wanita yang mempunyai kedudukan di pemerintahan/eksekutif dan dewan/legislatif bersatu padu melawan penjahat penyebar virus biologis ini.
Bahkan media massa dan masyarakat pun hanya menempelkan stempel ‘lelaki hidung belang’ pada mereka. Sedikit lebih sopan dan permisif dibandingkan wanita tuna susila atau sebutan sejenisnya.
Mestinya, agen penularan virus HIV itu lebih layak disebut penjahat kelamin. Kalau perlu istilah ini dipopulerkan besar-besaran melalui media massa dan diharapkan lelaki yang mengidap hiv/aids mau melakukan pemeriksaan vct dan pemeriksaan lainnya secara intensif sehingga mereka akan malu dan jera apabila diberi label sebagai penjahat kelamin.
Upaya mempermalukan lelaki penjahat kelamin ini perlu dilakukan sebagai langkah preventif agar mereka berpikir seribu bahkan sejuta kali sebelum melakukan aktifitas seksual menyimpang tanpa memakai alat pelindung/kondom.
Bahkan bila perlu ada semacam wacana baru untuk membuat sebuah piranti hukum dalam bentuk UU atau sejenisnya yang bersifat mengikat dan memaksa para lelaki beresiko tinggi itu untuk melakukan pemeriksaan VCT dan menjalani perawatan jika telah terbukti positif mengidap virus mematikan tersebut.
Artinya, jika tata aturan itu tidak dilaksanakan atau mereka sengaja menghindari pemeriksaan maka akan ada konsekuensi hukum bagi para penjahat kelamin itu sebagaimana diterapkan kepada para pelaku tindakan kriminal.
Hal ini wajar, sebab pembuat dan penyimpan senjata biologis/virus saja dikenai sanksi hukum bahkan dianggap sebagai penjahat perang oleh pengadilan/MAHKAMAH internasional, maka orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV juga harus disamakan dengan mereka itu.
Tentunya kita harus salut dan menghargai saudara-saudara kita yang secara sukarela dan menjadi relawan dengan memeriksakan diri secara aktif serta mau mengajak/menyadarkan para ODHA lainnya yang belum mau memeriksakan diri untuk berobat secara aktif dan intensif ke klinik-klinik VCT yang sudah tersedia di seluruh Indonesia, untuk para ODHA yang mau melakukan hal seperti ini kita wajib memberikan apresiasi setinggi-tingginyanya dan sudah selayaknya mendapat sebutan sebagai pahlawan kemanusiaan.
Dan sebagai himbauan kepada masyarakat luas,janganlah memberikan stigma yang buruk dan mendiskriminasi kepada para ODHA, terimalah mereka di lingkungan masyarakat apa adanya dan berilah kesempatan untuk berkarya bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa orang-orang dengan akhlak baik sekalipun bisa terkena HIV, jadi hal ini sangatlah penting bagi kita untuk memahami janganlah memberi stigma buruk dan mendiskriminasikan para ODHA.
Semoga dengan adanya aturan dan sikap yang tegas dari pemerintah dan masyarakat, maka para pria akan bersikap lebih setia pada pasangannya. Dan jikalau memang tak bisa menjaga kesetiaan itu, setidaknya mereka selalu menggunakan alat pelindung diri apabila melakukan aktifitas seksual beresiko tinggi sehingga mereka tidak membawa pulang penyakit/virus yang hanya menyengsarakan anak dan istrinya kelak(*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment