Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia ( MUI ), Zainut Tauhid Saadi menyatakan, idealnya pemerintah menggandeng berbagai pihak untuk melakukan pembahasan sebelum memanfaatkan dana haji pada kepentingan infrastruktur.
Dana haji yang dimaksud adalah dana biaya pendaftaran calon haji agar mendapat porsi keberangkatan. Dana itu disebut dana awal Biaya Perjalanan Ibadah Hajj ( BPIH ).
Menurut Zainut, hal itu mengingat jumlah uang yang dikelola tidak sedikit, dan tidak boleh ada yang dirugikan, termasuk calon haji yang menyetor dana.
Dana setoran awal haji selama ini dimanfaatkan menyubsidi biaya pelaksanaan ibadah haji. Itupun hanya diambilkan dari manfaat hasil inventasi di SUKUK atau Surat Berharga Negara Syariah, sehingga meringankan biaya calon jemaah.
MUI menghimbau BPKH berhati- hati menggunakan uang jemaah haji untuk keperluan investasi di bidang infrastruktur. Karena itu murni uang umat yang tidak boleh dipindahtangankan atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain tanpa persetujuan pemiliknya.
Akumulasi dana haji setiap tahun semakin besar, karena animo masyarakat mendaftar haji semakin banyak, ditambah dengan masuknya dana hasil efisiensi penyelenggaraan haji tahun sebelumnya, serta tambahan dana dari manfaat bagi hasil penempatan BPIH di berbagai investasi yang dianggap aman.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ), Tulus Abadi, tidak setuju dengan rencana Presiden Jokowi menginvestasikan dana haji pada infrastruktur.
Tulus juga mengatakan, Presiden harus berhati- hati menggunakan anggaran itu.
Pemerintah juga harus memperhatikan penerapan konsep ekonomi syariah ketika mengalokasikan anggaran haji untuk infrastruktur.
Menurut Tulus, Presiden harus menggelar survei terlebih dulu sebelum merealisasikan rencana itu. Jokowi juga harus menanyakan rencana itu kepada sekitar 25 sampai 30 persen calon jemaah haji.
Intinya, lakukan jajak pendapat mi nimal 25 sampai 30 persen calon jemaah haji, apakah rela dananya dipakai untuk infrastruktur.(****).
Saturday, 29 July 2017
Tuesday, 25 July 2017
Bisakah Polisi Membongkar Kasus WNA Disekap.
Semarang. Kasus dugaan penipuan yang dilakukan lima warga Republik Rakyat Tiongkok ( RRT ) itu rumit.
Bagaimana tidak rumit? Kita fokus dulu ke korban. Siapa yang dirugikan dalam penipuan itu? Warga RRT yang di luar Indonesia.
Pengungkapkan sebatas mengetahui ada tidaknya WNI yang terlibat, atau menjadi korban dalam jaringan tersebut.
Bisa dibilang , kesimpulan sementara untuk kasus ini adalah pelaku dan korban, sama- sama warga RRT. Lalu, untuk siapa polisi kita bekerja? Kecuali ada korban WNI.
Menyoal lima WNA itu juga korban penipuan, polisi perlu mengungkap jaringan tersebut. Benar tidak keterangan WNA itu ?
Kasus ini hanya masalah locus delictus. Karena kejadiannya di Indonesia, kota Semarang.
Informasi paling utama yang perlu diketahui adalah, lima WNA itu masuk melalui jalur apa? Ada paspor tidak?
Keimigrasian harus mencari tahu dulu itu. Sedangkan kepolisian bisa mengembangkan jaringan yang terlibat.
Polisi juga kesulitan berkomunikasi dengan para WNA itu.
Jajaran Polsek Candisari juga menggeledah isi rumah, polisi mencurigai keberadaan delapan unit telepon rumah , di sebuah ruang ra hasia lantai dasar. Telepon itu tersambung kael di sebuah ruang kerja, lantai dua.
Terdapat ribuan berkas berisi jajaran nomor dan tulisan berhuruf Tiongkok.
Kapolrestabes Semarang Kombes Polisi Abiyoso Seno Aji mengatakan penggerebekan, mereka tidak dapat menunjukan paspor maupun visa.
Hingga saat ini belum bisa dibuktikan siapa korbannya. Polrestabes Semarang sudah diberikan back up oleh Polda Jawa Tengah untuk didalami kembali.
Abioso menambahkan, polisi juga berkoordinasi dengan Kantor Imigrasi Semarang untuk mendalami kasus tersebut.
Dari informasi yang didapatnya, kegiatan serupa dilakukan di Cibubur dan Bogor. Pihaknya belum bisa memastikan apakah masih satu jaringan dengan di Semarang.
Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, AKBP Wiyono Eko Prasteyo menambahkan modus penipuan yang digunakan oleh kelima WNA tersebut mengaku sebagai biro keamanan umum. Dan mereka mengaku menangkap pelaku kejahatan perbankan.(****).
Bagaimana tidak rumit? Kita fokus dulu ke korban. Siapa yang dirugikan dalam penipuan itu? Warga RRT yang di luar Indonesia.
Pengungkapkan sebatas mengetahui ada tidaknya WNI yang terlibat, atau menjadi korban dalam jaringan tersebut.
Bisa dibilang , kesimpulan sementara untuk kasus ini adalah pelaku dan korban, sama- sama warga RRT. Lalu, untuk siapa polisi kita bekerja? Kecuali ada korban WNI.
Menyoal lima WNA itu juga korban penipuan, polisi perlu mengungkap jaringan tersebut. Benar tidak keterangan WNA itu ?
Kasus ini hanya masalah locus delictus. Karena kejadiannya di Indonesia, kota Semarang.
Informasi paling utama yang perlu diketahui adalah, lima WNA itu masuk melalui jalur apa? Ada paspor tidak?
Keimigrasian harus mencari tahu dulu itu. Sedangkan kepolisian bisa mengembangkan jaringan yang terlibat.
Polisi juga kesulitan berkomunikasi dengan para WNA itu.
Jajaran Polsek Candisari juga menggeledah isi rumah, polisi mencurigai keberadaan delapan unit telepon rumah , di sebuah ruang ra hasia lantai dasar. Telepon itu tersambung kael di sebuah ruang kerja, lantai dua.
Terdapat ribuan berkas berisi jajaran nomor dan tulisan berhuruf Tiongkok.
Kapolrestabes Semarang Kombes Polisi Abiyoso Seno Aji mengatakan penggerebekan, mereka tidak dapat menunjukan paspor maupun visa.
Hingga saat ini belum bisa dibuktikan siapa korbannya. Polrestabes Semarang sudah diberikan back up oleh Polda Jawa Tengah untuk didalami kembali.
Abioso menambahkan, polisi juga berkoordinasi dengan Kantor Imigrasi Semarang untuk mendalami kasus tersebut.
Dari informasi yang didapatnya, kegiatan serupa dilakukan di Cibubur dan Bogor. Pihaknya belum bisa memastikan apakah masih satu jaringan dengan di Semarang.
Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, AKBP Wiyono Eko Prasteyo menambahkan modus penipuan yang digunakan oleh kelima WNA tersebut mengaku sebagai biro keamanan umum. Dan mereka mengaku menangkap pelaku kejahatan perbankan.(****).
Monday, 17 July 2017
2.012 Kasus HIV/ Aids Di Kabupaten Semarang.
Ungaran, Kab.Semarang. Seorang pelajar di salah satu kecamatan di Kabupaten Semarang terindikasi terjanMgkit infeksi menular seksual (IMS).
Kondisi itu sebenarnya memerlukan pemeriksaan VCT untuk mendeksi secara dini kemungkinan adanya kasus HIV/ Aids baru.
Kasus HIV/ Aids di Kabupaten Semarang ada 2.012 kasus dengan prosentase temuan sebesar 26,15 persen.Prosentasi temuan kasus HIV/ Aids menduduki urutan ke 25 dari 35 Kabupaten/ Kota se Jawa Tengah.
Hal itu diungkapkan oleh Pengelola program Penanggulangan Aids ( KPA ) Kabupaten Semarang Taufik Kurniawan.
Dikatakan pula oleh Taufik untuk pemeriksaan VCT untuk penderita IMS dibawah umur terkendala peraturan yang mengharuskan izin dari orang tua.
Taufik menghimbau ke Pemkab Semarang untuk meningkatkan jumlah anggaran guna membiayai penyelenggaraan klinik Voluntary Counseling and Testing ( VCT) di seluruh pusat kesehatan masyarakat ( Puskemas ) yang ada.
Dijelaskan oleh Taufik baru hanya 11 Puskemas yang telah melayani VCT dari 26 Puskesmas yang ada. Frekuensi VCT di masyarakat menjadi sangat penting untuk mengungkap seluruh kasus yang ada. Ditargetkan seluruh Puskesmas yang ada mampu melaksanakan VCT.
Sementara itu Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit( P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, Mas Dady Dharmadi mengatakan timnya tengah mendata warga yang menderita HIV/Aids ( Odha).
Dady menambahkan Dinkes akan terus berkomunikasi dengan para pendamping Odha untuk mendata para Odha dan para anggauta keluarganya yang belum memiliki BPJS Kesehatan.
Selain itu, lanjut Dedy, Dinkes juga akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial untuk menerbitkan surat rekomendasi agar kartu BPJS kesehatan dapat langsung digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa menunggu masa tenggang 14 hari seperti yang tercantum dalam p
eraturan.
Para pendamping cukup mengirimkan KTP, KK dan surat keterangan tidak mampu atas nama Odha maupun anggauta keluarganya ke Dinkes untuk pengurusan kepesertaan.
Nantinya mereka akan didaftarkan kepesertaan melalui jalur Penerima Bantuan Iuran ( PBI) yang didanai dari APBD Kabupaten Semarang.(***)
Kondisi itu sebenarnya memerlukan pemeriksaan VCT untuk mendeksi secara dini kemungkinan adanya kasus HIV/ Aids baru.
Kasus HIV/ Aids di Kabupaten Semarang ada 2.012 kasus dengan prosentase temuan sebesar 26,15 persen.Prosentasi temuan kasus HIV/ Aids menduduki urutan ke 25 dari 35 Kabupaten/ Kota se Jawa Tengah.
Hal itu diungkapkan oleh Pengelola program Penanggulangan Aids ( KPA ) Kabupaten Semarang Taufik Kurniawan.
Dikatakan pula oleh Taufik untuk pemeriksaan VCT untuk penderita IMS dibawah umur terkendala peraturan yang mengharuskan izin dari orang tua.
Taufik menghimbau ke Pemkab Semarang untuk meningkatkan jumlah anggaran guna membiayai penyelenggaraan klinik Voluntary Counseling and Testing ( VCT) di seluruh pusat kesehatan masyarakat ( Puskemas ) yang ada.
Dijelaskan oleh Taufik baru hanya 11 Puskemas yang telah melayani VCT dari 26 Puskesmas yang ada. Frekuensi VCT di masyarakat menjadi sangat penting untuk mengungkap seluruh kasus yang ada. Ditargetkan seluruh Puskesmas yang ada mampu melaksanakan VCT.
Sementara itu Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit( P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, Mas Dady Dharmadi mengatakan timnya tengah mendata warga yang menderita HIV/Aids ( Odha).
Dady menambahkan Dinkes akan terus berkomunikasi dengan para pendamping Odha untuk mendata para Odha dan para anggauta keluarganya yang belum memiliki BPJS Kesehatan.
Selain itu, lanjut Dedy, Dinkes juga akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial untuk menerbitkan surat rekomendasi agar kartu BPJS kesehatan dapat langsung digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa menunggu masa tenggang 14 hari seperti yang tercantum dalam p
eraturan.
Para pendamping cukup mengirimkan KTP, KK dan surat keterangan tidak mampu atas nama Odha maupun anggauta keluarganya ke Dinkes untuk pengurusan kepesertaan.
Nantinya mereka akan didaftarkan kepesertaan melalui jalur Penerima Bantuan Iuran ( PBI) yang didanai dari APBD Kabupaten Semarang.(***)
Potensi Kecurangan Dalam Penyelenggara Pilkada Selalu Ada.
Potensi kecurangan maupun pratik menyimpang dalam penyelenggaraan pilkada selalu ada. Tak terkecuali dengan mengerahkan massa luar daerah, guna menangkan pasangan calon tertentu.
Potensi mengarah kesana tetap masih ada, karena proses e- KTP secara menyeluruh belum rampung 100 persen. Menurut Koordinator Divisi Pengawasan dan Humas Badan Pengawas Pemilu Jateng, Teguh Purnomo mengatakan, semua pihak terkait harus tetap waspada, ini sebagai upaya preventif, jangan sampai praktik menyimpang berjalan dan luput dari pengawasan, sehingga pada akhirnya bisa mendelegitimasil hasil pemilihan.
Potensi pelanggaran administrasi dalam perkara ini. Teguh menyatakan, antara lain penduduk baru yang belum berdomisili selama minimal enam bulan, tapi tiba- tiba sudah bisa mendapat KTP baru.
Dijelaskan oleh Teguh, kalau ada temuan seperti itu, patut dicurigai, indikasinya bisa mengarah ke sana, terlebih jika terjadi secara masif. Tetapi untuk menjadi massif dan sistemik, tentu butuh pra- syarat tertentu, yang tak lepas dari peran pemegang kekuasaan dan birokrasi.
Selain itu, Teguh mengatakan, potensi pelanggaran administrasi akan lebih mungkin terjadi pada saat proses tahapan pilkada telah dimulai.
Teguh mengungkapkan, guna meminimalisir potensi terjadinya penyimpangan pilkada dengan modus pengerahan massa dari luar wilayah, Teguh merekomendasikan agar pemutakhiran data pemilih menggunakan satu dari dua acuan, yaitu data pemilih pada pemilihan terakhir dan daftar penduduk potensial pemilih pemilu ( DP 4 ) dari kemendagri.
Potensi mengarah kesana tetap masih ada, karena proses e- KTP secara menyeluruh belum rampung 100 persen. Menurut Koordinator Divisi Pengawasan dan Humas Badan Pengawas Pemilu Jateng, Teguh Purnomo mengatakan, semua pihak terkait harus tetap waspada, ini sebagai upaya preventif, jangan sampai praktik menyimpang berjalan dan luput dari pengawasan, sehingga pada akhirnya bisa mendelegitimasil hasil pemilihan.
Potensi pelanggaran administrasi dalam perkara ini. Teguh menyatakan, antara lain penduduk baru yang belum berdomisili selama minimal enam bulan, tapi tiba- tiba sudah bisa mendapat KTP baru.
Dijelaskan oleh Teguh, kalau ada temuan seperti itu, patut dicurigai, indikasinya bisa mengarah ke sana, terlebih jika terjadi secara masif. Tetapi untuk menjadi massif dan sistemik, tentu butuh pra- syarat tertentu, yang tak lepas dari peran pemegang kekuasaan dan birokrasi.
Selain itu, Teguh mengatakan, potensi pelanggaran administrasi akan lebih mungkin terjadi pada saat proses tahapan pilkada telah dimulai.
Teguh mengungkapkan, guna meminimalisir potensi terjadinya penyimpangan pilkada dengan modus pengerahan massa dari luar wilayah, Teguh merekomendasikan agar pemutakhiran data pemilih menggunakan satu dari dua acuan, yaitu data pemilih pada pemilihan terakhir dan daftar penduduk potensial pemilih pemilu ( DP 4 ) dari kemendagri.
Subscribe to:
Posts (Atom)