INDENPRES MEDIA ISTANA

Sunday, 11 October 2015

Pilkada 2015 Siap Digelar.

Jakarta, Pilkada serentak di 269 wilayah di Indonesia, pada bulan Desember 2015 mendatang sudah siap digelar. Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Juri Ardiantoro mengatakan, pilkada selalu memunculkan ketegangan dan sengketa. Meski intensinya berbea-beda. Setiap lima tahun selalu membuat aturan, selama itu pula juga menghadapi masalah, Makanya tidak jarang Undang-Undang Pilkada digugat ke MK. Menurut Juri bahwa, masalah yang sering muncul antara lain, masalah data pemilih yang biasanya dijadikan materi untuk menggugat hasil pilkada. Kemudian komplain saat pencalonan terkait kepengurusan ganda dalam satu partai politik. Dan lalu saat pengumuman hasil yang biasanya berpontensi konflik. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan, untuk memastikan suksesnya penyelenggaraan hajatan demokrasi tersebut, Kementerian Dalam Negeri terus melakukan koordinasi dengan KPU dan DPR. Pemerintah dan Kemendagri optimis pilkada akan berjalan dengan baik. Terutana tiga daerah yang kemarin diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi boleh satu pasangan calon. Selebihnya, mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu menyerahkan kewenangan kepada KPU. Sebab, lembaga tersebut yang menjabarkan putusan MK tersebut. Menurut Tjahjo yang pernah puluhan tahun menjadi anggauta DPR itu, aturan pelaksanaan pilkada satu pasangan sudah selesai dirumuskan KPU. Tinggal nanti KPU mengonsultasikannya dengan Komisi II DPR RI. Tidak ada masalah di DPR. Satu pasang calon juga hak konstitusionalnya harus terjamin dengan baik. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) Titi Anggraini menilai banyaknya masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah. Menurut Titi, Kondisi masih ditambah tumpang tindih dan kontradiksi antara ketentuan-ketentuan di undang-undang yang berbeda, inkonsistensi hukuman yang menyebabkan ketidakjelasan. Kerangka hukum pemilu yang ada seharusnya memberikan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan kebingungan bagi pemangku kebijakan dalam menafsirkan prosedur pemilu. Paling tidak diatur dalam sejumlah undang-undang mulai dari UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu DPR, DPRD, dan DPD serta UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga secara perpisah lewat UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Bahkan undang-undang ini juga telah beberapa kali direvisi. Jadi pendekatan adhoc dalam perubahan hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi di setiap undang-undang. Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering kali mengakibatkan ketidak-jelasan prosedur hukum bagi penyelenggara pemilu. Sayangnya, para pengambil kebijakan, menurut Tuti, hanya akan mengkodifikasi dua undang-undang pemilu. Yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Hal ini terjadi karena masih ada perdebatan mengenai posisi pilkada yang tidak berada dibawa rezim pemilu nasional serta argumen yang mengatakan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri. Mengatasi kondisi yang ada, Titi mendorong perlunya wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU pemilu serta menyatukan berbagai aturan tersebut menjadi satu undang-undang pemilu. Para pengambil kebijakan di DPR berpendapat bahwa ini adalah tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan.*****

No comments:

Post a Comment